TRANSLATE THIS BLOG
Thursday, December 30, 2010
Menulis Mampu Tingkatkan Kemampuan Sains Wanita
Dunia sains masih identik dengan kaum Adam. Kendati di masa kini emansipasi sudah nyaring terdengar, banyak kaum perempuan yang mengecap pendidikan tinggi, tetap saja kaum pria lah yang mendominasi dunia sains dan teknologi.
Ternyata masalah ini lebih ke problem psikologis, demikian menurut studi terbaru. Solusinya, berlatih menulis dapat membuat kaum perempuan lebih percaya diri dan tampil lebih baik dalam ujian eksak, sehingga mempersempit gap gender di dunia sains, begitu setidaknya menurut teori baru itu.
Pemikiran stereotip bahwa kaum lelaki lebih unggul daripada perempuan di bidang sains bisa jadi sudah menekan psikologi perempuan lebih dulu, sehingga mereka kurang bisa optimal. Berlatih menulis selama 15 menit, yaitu sejumlah pelajat menulis mengenai nilai-nilai kehidupan mereka yang paling penting, seperti terman dan keluarga, dianggap mampu mengurangi beban psikologis tersebut. Latihan ini terbukti mampu meningkatkan kemampuan kaum wanita dalam menghadapi ujian nasional konseptual fisika, demikian menurut studi yang dipublikasikan di jurnal Science edisi November lalu. Namun hal yang sama tidak berlaku bagi kaum Adam. Memang selama ini kaum pria lebih unggul dalam ujian itu dibanding kaum wanita.
“Pelatihan menulis ini lebih mendorong kaum wanita untuk merencanakan masa depannya di bidang sains,” ujar Akira Miyake dari University of Colorado, penggagas latihan menulis tersebut. “Sehingga kaum wanita peserta pelatihan dapat termotivasi dan tertarik pada sains, lalu dapat mengerjakan soal ujian sains dengan baik.”
Miyake dan timnya melakukan pelatihan terhadap 399 pelajar lelaki dan perempuan. Mereka diminta menulis mengenai nilai-nilai penting dalam hidupnya, mulai dari relasi dengan teman dan keluarga, pembelajaran, dan meraih pengetahuaan. Pada akhir masa pelatihan, yaitu 15 minggu, gap antara lelaki dan perempuan dalam meraih nilai ujian makin menyempit. Kaum wanita yang mengikuti pelatihan menulis mengalami peningkatan nilai ujian. Namun kaum lelaki tidak mengalami perbaikan berarti.
“Hasil ini menyatakan bahwa menulis esai penguatan percaya diri bagi wanita mampu membuatnya lebih termotivasi dalam menghadapi ujian sains. Ini disebabkan psikologi mereka mampu melawan stereotip negative bahwa kaumnya kurang dapat diandalkan di bidang sains,” komentar Miyake.
Diringkas dan diterjemahkan secara bebas dari LiveScience
foto:http://www.twenty20creative.com/projects/msresearch/design_assets/Photos/science%20lab%20woman.jpg
Thursday, December 23, 2010
Pengaruh Jenis Kelamin Pada Kesehatan Mental
Schizoprenia adalah gangguan mental yang berbeda manifestasinya pada setiap jenis kelamin, terkait dengan pengaruh umur kejadian, gejala, respon pengobatan, dan abnormalitas struktur otak. Studi terbaru dari Universitas Montreal menunjukkan, bahwa ada perbedaan gender antara pria dan perempuan terkait dengan kemampuan mental masing-masing. Dalam riset ini, dibuktikan bahwa perempuan lebih baik daripada pria. Penemuan ini telah dipublikasi pada jurnal Schizoprenia Research.
‘ Kami adalah yang pertama dalam melaporkan pengaruh perbedaan jenis kelamin pada fungsi otak pasien schizoprenia,’ demikian kata Adrianna Mendrek, Profesor Kedokteran dari Universitas Montreal. ‘Kami memilih untuk melakukan kajian yang melibatkan rotasi mental dari gambar tiga dimensi, sebab pria dan perempuan menunjukkan perbedaan waktu reaksi dan akurasi’, lanjut Mendrek.
Hasil yang berbeda antara kontrol versus pasien
Mendrek dan koleganya membandingkan fungsi otak dari sukarelawan/wati sehat dengan pasien schizoprenia yang menyelesaikan tugas rotasi gambar dengan magnetic resonance imaging (fMRI). Penemuan mereka mengkonfirmasikan, bahwa pria sehat memiliki hasil lebih baik dibanding perempuan sehat pada tugas ini, namun perempuan schizoprenia memiliki hasil lebih baik dibandingkan dengan pria schizoprenia.
‘ Hormon seks seperti testosterone dan estrogen dapat menjelaskan mengapa hasilnya berbeda,’kata Mendrek. ‘Penemuan dari kajian yang lain telah menunjukkan bahwa kadar testosteron memiliki korelasi positif dengan aktivitas di pria sehat, namun tidak pada perempuan sehat. Kebalikannya, perempuan schizoprenia memiliki kadar hormon testosteron yang lebih tinggi’.
Hasil mengejutkan: Perbedaan gender pada otak ‘beristirahat’
Menurut Mendrek, Fase istirahat otak dari pria dan perempuan sehat tidaklah sama. Area dari otak yang aktif ketika beristirahat ( Mode Jaringan Default ) lebih aktif pada perempuan dibandingkan pria. ‘Kami adalah kelompok pertama yang melaporkan perbedaan seks pada jaringan ini dengan menggunakan fMRI,’ kata Mendrek. ‘ Otak perempuan fase istirahat yang lebih aktif dapat mejelaskan mengapa mereka dapat melakukan multi tugas dan lebih introspektif dibandingkan pria’
Kajian sebelumnya telah menunjukkan, bahwa jaringan default akan terganggu pada orang yang mengalami depresi, Alzheimer, atau Schizoprenia. Berkurangnya aktivitas Mode Jaringan default telah diasosiasikan dengan autisme, dan aktivitas mode yang berlebihan diasosiasikan dengan Schizoprenia, terutama dengan gejala Schizoprenia positif seperti halusinasi dan delusi.
Kajian ini didanai oleh Institut Riset Kesehatan Kanada, Institut Kesehatan dan Gender dan Hibah Penelitian Quebec, dan Rumah Sakit Yayasan Louis-H Lafontaine.
Diterjemahkan dari sciencedaily.com
Sumber foto: http://marcelnunis.com/blog/
Tuesday, December 21, 2010
“Kolecer dan Hari Raya Hantu”: 20 Cerita Pendek Kearifan Lokal
Benedict Anderson mengatakan sebuah negara adalah sebuah komunitas yang diangankan. Dimana komunitas yang diangankan tersebut terbentuk dari komunitas-komunitas dari berbagai suku, agama, ras, etnis, dan budaya. Sebuah keragaman yang penuh warna-warni dan pesona. Begitu juga kumpulan cerita Pendek “Kolecer dan Hari Raya Hantu” ini. Berisi kisah-kisah yang beragam yang digali oleh para penulisnya, kisah-kisah dengan ragam budaya lokal, kisah-kisah yang diangkat berdasarkan pengamatan atas tradisi, mitos, dan fakta yang ada.
“20 Cerita Pendek Kearifan Lokal” ini adalah karya kolektif dari 11 penulis, yang terdiri dari Benny Arnas, Cesillia Ces, Gunawan Maryanto, Hanna Fransisca, Khrisna Pabichara, Nenden lilis A, Noena Fadzila, Oka Rusmini, Sastri Bakry, Sutan Iwan Soekri Munaf, dan Saut Poltak Tambunan. Cerpen-cerpen yang ada adalah sebuah cerpen yang kaya nuansa dan makna. Dengan berbagai sudut pandang yang diambil penulisnya. Cerpen-cerpen yang diangkat dari tradisi, mitos, dan juga potret sebuah realitas, tanpa ada keinginan untuk menggurui, tanpa ada pretensi untuk berkhotbah. Pembaca bisa menarik berbagai kesimpulan lewat Tokoh, latar, alur, maupun tema cerita-ceritanya. Disinilah justru cerpen akan menjadi memikat. Seperti mengikuti liputan sebuah kamera, pembaca dibawa untuk menyaksikan lanskap, adegan, dan tokoh. Perasaaan, pikiran, permainan emosi dan pergolakan batin dapat kita terka dari kalimat dan tindakan para tokoh yang mengisi dunia fiksi para penulis. Watak dan alur tokoh, juga konflik adalah “diperagakan” bukan diuraikan. Disinilah justru pembaca mempunyai ruang yang luas untuk mencoba menginterpretasikan muatan moral yang ingin disampaikan para penulisnya.
Benny Arnas (Lubuk Linggau-Sumsel) dengan 3 buah cerpennya “Anak Ibu Yang Kembali”, “Tujuh”, dan “Tukang cerita”. Pada “Anak Ibu Yang Kembali”, merupakan Cerpen yang mempertanyakan tentang problem budaya. Antara budaya sebuah daerah yang mengagungkan anak Perempuan, tapi ada juga daerah yang mengagungkan anak laki-laki, dan menggali konflik dari tema tersebut. “Tujuh” menceritakan tetang mitos (yang kadang bisa menjadi “fakta”) Tukang tenung. Yang saya rasa dimanapun daerah-nya pasti punya mitos seperti ini, dengan nama yang lain. Dan “Tukang Cerita” Benny mencoba mengangkat tema Tukang Cerita, sebuah cerita tentang pendongeng yang semakin lama semakin hilang di era media cetak dan media audio visual saat ini. Cerita yang memikat dengan ending yang menyisakan misteri.
Cesillia Ces (Bali) menulis cerpen dengan tema perbedaan yang coba disatukan lewat cinta 2 anak manusia. Kisah cinta antara Bali dan Balige-Toba Samosir. Dan keduanya harus berbenturan dengan akar tradisi dan budaya masing-masing.
Gunawan Maryanto (Djogdjakarta) menghadirkan 2 buah cerpen “ Arya Mangkunegara” dan “Sarpakenaka”. “Arya Mangkunegara” dengan setting Jawa Tengah Tempo Dulu, Raja, tumenggung, Patih, dan keratonnya bercerita dengan narasi yang puitis tentang cinta, dendam, fitnah, intrik, dan pembunuhan. Yang menurut saya tema-tema tersebut tetap relevan sampai sekarang. Sedangkan Cerpen “Sarpakenaka” dengan latar peristiwa tahun 1965, sungguh menggedor, dan menyergap perasaan kita. Mencabik-cabik jiwa kita. Sebuah cerita tentang Wayang Kulit Sarpakenaka yang terbuat dari kulit manusia korban pembantaian Tahun 1965. sebuah cerita yang suram dan Gelap. Seperti melihat film dengan genre “Noir”.
Hanna Fransisca (Singkawang-Kalbar) menulis cerpen-cerpennya bak Puisi yang kaya Makna. “Hari Raya Hantu” dan “Sembahyang Makan Malam”. Cerita dengan alur yang mengalir indah untuk kita nikmati. Dengan metafora dan alegori hanna mencoba memberikan sebuah gambaran tentang budaya leluhurnya. Pengamatan, pengalaman, pemahamannya akan budaya leluhurnya juga kemampuannya membuat citraan dengan menulisnya dalam sebuah cerpen, patut kita beri apresiasi tinggi. Saya merasa disinilah kekuatan Hanna. Dengan gaya penulisan yang memancing imajinasi pembaca, sehingga kritikpun tetap terasa halus dan menggoda. Seperti Dalam “Hari Raya Hantu” yang membingkai disparitas antara kaya-miskin dalam kisah Perayaan hari raya Hantu. Juga dalam “Sembahyang Makan Malam” yang mempertanyakan sebuah makna kebahagiaan, tentang harta yang cukup tapi selalu didera kesepian. “Bunyi petasan yang diyakini dapat mengusir roh-roh jahat, kini meletup di dadanya seperti balon udara yang terbakar.” Mambaca kalimat ini, kita terasa hidup dalam kesepian yang menghimpit.
Khrisna Pabichara (Sulawesi Selatan), hadir dengan 3 Cerpennya. Cerita yang diangkat dari tradisi dan Mitos daerah sulawesi selatan ini membuat kita menjadi semakin mencintai keberagaman yang ada di negeri ini. “Laduka”, “Pembunuh Parakang”, dan “Selasar”. “Laduka” yang berkisah tentang tema Kerinduan akan Pulang. Kerinduan seorang Perantau. “Pembunuh Parakang” menelanjangi kita semua tentang intrik dan dendam dalam balutan mitos daerah leluhurnya.. Sebuah cerpen yang baik untuk intropeksi diri kita, bahwa tidak ada seorangpun yang sempurna. Dan kepiawaian bertutur Khrisna juga kita temukan pada “selasar”, cerita cinta yang sampai kapanpun akan tetap menarik untuk digali.
Nenden Lilis (Bandung) menulis 2 cerita Pendek yang merupakan potret sosial masyarakat. Potret manusia dengan segala problem kehidupaannya. “Hari Pasar” dan “Kolecer” kedua cerpen ini membuat kita melayang menuju masa kecil kita. Meskipun dengan setting daerah jawa barat, tetapi kisah didalamnya seperti menonton Tukang obat di pasar dan mandi di sungai tentunya akrab dengan masa kecil kita. “Hari Pasar” yang ditulis Nenden Lilis menceritakan tentang Tukang Obat yang suka menipu dengan menampilkan kesaktian yang palsu. Sedang “Kolecer” (kincir angin Khas Parahyangan) memberi ruang bagi kita untuk merenung. Bahwa hidup terus berputar. Sedih, bahagia, tangis, dan tawa akan selalu mengiringi perjalanan hidup kita. Yang dikemas dalam cerita hubungan antara anak perempuan dan bibinya.
Noena Fadzila (BMI Hongkong) seorang buruh migran di Hongkong menghadirkan Cerpen dengan judul “Sri Sumini”. Sebuah kisah yang mengharu biru tentang perjuangan seorang perempuan yang bekerja di Luar negeri dan sering menjadi obyek Eksploitasi para Oknum Majikan dan Penguasa. kisah nasib perempuan yang sering tertindas, sebagaimana larik dalam Puisi Chairil Anwar yang terkenal “Nasib adalah kesunyian masing-masing”
Oka Rusmini (Bali) menulis satu cerpen dengan judul “Pastu”. Kisah tentang problem benturan budaya dengan segala tradisi yang ada terhadap perubahan zaman. Sebuah kisah yang mempertanyakan konsep sebuah perkawinan dalam budaya yang patriarki. Sebagai seorang penulis cerpen yang handal, Oka berhasil mengganggu kesadaran dan pikiran kita tentang pertanyaan-pertanyaan yang dikemas dalam kalimat yang liris juga retoris. Pertanyaan-pertanyaan tentang hak atas tubuh perempuan dalam akar tradisi yang membelitnya.
Sastri Bakry (Padang) dengan cerpennya “Baminantu” merupakan cerita pendek dengan tema tentang penerapan adat dan tradisi, yang sering kita jumpai sering berseberangan dengan Agama. Seperti Tradisi bahwa pihak perempuanlah yang meminang pihak laki-laki sebelum melangsungkan Pernikahan secara adat. Tema inilah yang coba diangkat oleh sastri, hingga memunculkan konflik yang cukup tajam. Bangunan konflik dalam cerpen ini, cukup bagus hingga membuat kita penasaran untuk mengetahui endingnya.
Sutan Iwan Soekri Munaf (Pariaman-Sumatera Barat) lebih dikenal dengan nama Iwan Soekri, sebagai tokoh yang sudah melang melintang di ranah sastra negeri ini, yg juga ikut mendirikan yayasan multimedia sastra dengan Cybersastra.net-nya. Menyuguhkan Cerpen dengan judul “Pak Gubernur belum mendengar cerita ini”. Dengan gaya bahasa yang rancak dan enak dinikmati, khas minang, Iwan mengangkat tema tentang Kepahlawanan. Kepahlawanan kaum albino dalam menghadapi musuh, dengan setting cerita masa lalu, jaman Kerajaan Majapahit yang ingin menaklukkan Kerajaan Minang . Dengan kisah kepahlawanan kaum albino yang sering di pandang sebelah mata ini, membuat kita agar merekontruksi dan meredefinisi makna dari kata “Pahlawan”.
Terakhir Saut Poltak Tambunan (Tapanuli) Penulis Novel, dan Cerpen, yang beberapa Novelnya diangkat ke layar lebar dan sinetron, seperti Hatiku Bukan Pualam, Harga Diri, Dan lainnya. Menulis 3 cerpen untuk Kumpulan Cerpen ini. “Lali Panggora”, “Menunggu Matahari”, dan “Omak”. Kepiawaiannya dalam mengemas sebuah cerita membuat kita seakan larut dalam cerita-cerita yang dibuatnya. Dalam “lali Panggora” kita sejak awal kisah seakan ikut resah menunggu siapa yang akan dijemput kematian. Dengan munculnya “Elang Pengabar”, Elang Bondol yang hampir punah terbang berputar dan tinggi sebagai sebuah penanda akan adanya seorang yang meninggal di kampung tersebut. Elang yang menebarkan keresahan. Ini bisa jadi Mitos, tapi bisa juga sebuah realitas yang ada, realitas yang masih sering kita jumpai, mungkin di daerah kita juga. Mitos dan fakta memang punya batas yang sangat tipis. “Menunggu Matahari” menghadirkan Kisah kekerasan ayah terhadap anaknya. Sebuah metode mendidik kedisiplinan dengan penerapan yang salah. Sebuah cinta kasih ayah terhadap anaknya dengan cara yang salah. Hingga sang anak harus melarikan dari rumah. “Omak” menggali cerita dari kisah kasih seorang Ibu. Kasih yang tak mengenal batas dan balas. Dengan suasana cerita di jaman Pemberorantakan PRRI. Perjuangan seorang Ibu dalam menghidupi keluarganya.
Menulis cerita Pendek Diperlukan keahlian untuk memilih diksi, menciptakan Tokoh, dan juga membangun sebuah konflik batin para tokohnya. Bagaimana memilih diksi yang tepat dan juga ada nilai estetikanya. Sehingga pembaca bisa menikmati gambaran peristiwa, alur cerita yang mengalir, dialog-dialog para tokohnya. Pemilihan diksi yang tepat akan memancing imajinasi pembaca. Hingga kalimat-kalimat yang ada bisa bertransformasi, tidak hanya menjadi makna konseptual tapi juga imajinatif dan penuh religiusitas.
Terbitnya Buku Kumpulan Cerpen “Kolecer dan Hari Raya Hantu” ini patut kita beri apresiasi yang tinggi. Karena menghadirkan cerita dan kisah yang diambil dari kearifan Lokal. Saya yakin seperti yang Ditulis di Epilog, Bang Saut Poltak Tambunan akan juga menerbitkan cerita-cerita yang mengangkat keraifan lokal dari Wilayah Timur Indonesia. Hal ini belum ada di buku ini karena terkendala oleh berbagai keterbatasan teknis saja. Semoga buku kumpulan cerpen ini dapat bermanfaat bagi perkembangan sastra kita.
Saturday, December 18, 2010
Organisasi dan Kecerdasan Emosional
Berbicara mengenai rendahnya minat mahasiswa dalam berorganisasi di kampus, saya teringat buku karangan Fuad Nashori (2010) yang bersubtemakan Menjadi Mahasiswa Sukses. Mahasiswa yang jumlahnya kian hari semakin banyak, dapat dikelompokkan dalam beberapa golongan. Trow dan Clark (Nashori, 2010) mengelompokkan menjadi empat kelompok berdasarkan subkultur atau kebiasaan hidup.
Pertama, subkultur akademik. Mereka mempunyai ciri berorientasi hidup selaras dengan tujuan perguruan tinggi. Kehidupan mereka ini, lebih banyak berada di ruang kuliah, laboratorium, dan perpustakaan. Sebagain dari mereka menyempatkan waktu untuk mengikuti kegiatan-kegiatan non akademik dengan tujuan pengembangan diri. Mereka kurang menyukai kegiatan hura-hura karena dianggapnya cuma membuang-buang waktu.
Kelompok kedua, subkultur vokasioanl. Kelompok ini memandang perguruan tinggi (PT) hanya sebagai ‘tangga’ untuk memasuki dunia kerja, karena mendambakan adanya mobilitas sosial ekonomi yang lebih baik. Yang menjadi sasaran mahasiswa semacam ini adalah cepat lulus dan mendapatkan pekerjaan dengan gaji dan kedudukan yang memuaskan. Beda dengan kelompok yang pertama, kelompok kedua ini tidak memprioritaskan peningkatan kualitas intelektualitasnya.
Kelompok ketiga, subkultur kolegiat. Mahasiswa kelompok ini amat menyukai kegiatan yang berbau hura-hura, olahraga, kesenian, dan banyak terlibat dalam kegiatan sosial walaupun mungkin hanya sebagai ‘penggembira’ saja. Aspek intelektual dan acara-acara serius tak begitu diminati. Untuk masalah kuliah nilai pas-pasan cukup bagi mahasiswa semacam ini.
Kelompok keempat, golongan subkultur non-konformis. Mungkin ini kelompok yang agak langka. Masa kuliah digunakan untuk mengejar hasrat pribadi dalam memahami bidang keilmuan. Mereka memiliki keluasan wawasan. Mempunyai kegandrungan intelektual yang besar. Mempunyai kiat-kiat tersendiri dalam menguatkan kompetensi keilmuan, terutama melalui jalur informal. Justru hal yang formal kurang disukainya. Mahasiswa semacam ini akan mencari pengalaman sebanyak mungkin yang digemarinya. Biasa terlibat dalam organisasi kemahasiswaan di kampus dan cenderung menjadi tokohnya.
Tipe Mahasiswa Paling Sukses
Pertanyaan selanjutnya, kelompok mana yang paling sukses? ada dua ukuran yang dapat digunakan untuk menilai apakah seorang mahasiwa itu telah berhasil atau tidak. Parameter pertama adalah prestasi akademik yang terlihat dari tinggi indeks prestasi (IP) yang dicapai. Benar adanya bahwa mahasiswa yang mempunyai kebiasaan selaras dengan tujuan perguruan tinggi adalah peraih IP tertinggi. Dari hasil penelitian Hodgins dengan menggunakan teori Trow dan Clark (Akhson, 1991: Nashori 2010) diungkap bahwa urutan peraih IP tertinggi adalah kelompok non-konformis, kelompok akademik, kelompok vokasional, dan kelompok kolegiat. Mengapa mahasiswa non-konformis mempunyai IP yang lebih tinggi dibanding mahasiswa akademik?
Di atas telah penulis kemukakan bahwa mahasiswa non-konformis memiliki kecenderungan intelektual yang tinggi. Mereka menempuh cara-cara mendapatkan ilmu secara “luwes”. Mempunyai peluang yang lebih untuk memahami materi kuliah secara mendalam melalui berbagai sumber. Keunggulan kelompok non-konformis ini akan lebih optimal jika dosen menggunakan pendekatan SCL (student centered learning). Karena metode belajar yang bervariasi dalam SCL sangat dirasa mampu menyesuaikan dengan kebiasaan mahasiswa non-konformis. Sehingga dikatakan mahasiswa non-konformis unggul dibanding yang lain, terutama bila pengukuran IP lebih menekankan logika (rasio) dan bukan semata-mata kemampuan ingatan (hafalan). Lain halnya dengan mahasiswa akademik yang hanya tergantung dan mengandalkan pada materi yang diberikan diruang kuliah saja.
Parameter kedua, yaitu dengan melihat kesuksesan hidup. Berbagai studi yang dilakukan para ahli mengungkapkan bahwa prestasi yang tinggi belum tentu berkorelasi dengan kesuksesan di dunia kerja. Sebuah penelitian ditunjukkan oleh Daniel Goleman terhadap 81 orang lulusan paling top dari sejumlah SMTA di Illionois, Amerika Serikat. Penelitian ini mendapati beberapa hal yang baru, diantaranya saat kuliah mereka memperoleh nilai yang memuaskan. Akan tetapi, menjelang usia 30 tahun, dalam kiprah kariernya, tingkat kesuksesannya biasa-biasa saja. Sepuluh tahun setelah lulus SMTA, hanya seperempat dari mereka yang mencapai puncak tangga profesi untuk tingkat usia mereka. Mengapa? Goleman meyakini bahwa kecerdasan akademik perlu ditunjang oleh bekal ‘kecakapan untuk hidup.’ Secara emosional mereka belum cukup dewasa, bahkan masih sering direpotkan oleh pertentangan dalam diri sendiri. Sehinggga, fokus pada pekerjaan kacau, berpikir pun bak ‘benang kusus.’ Kecerdasan emosional yang dimiliki seseorang diperoleh melalui latihan dan pengalaman. Dan ‘orang’ non-konformis, yang gandrung akan keintelektualan, gemar berorganisasi dan mencari pengalaman, dapatlah dipandang mempunyai kemungkinan yang lebih besar menjadi manusia-manusia sukses di masa mendatang.
Mahasiswa dan Kedudukannya di Masyarakat
Mahasiswa menempati kedudukan yang khas (special position) di masyakarat, baik dalam artian masyarakat kampus maupun di luar kampus. Kekhasan ini tampak pada serentetan atribut yang disandang mahasiswa misal: intelektual muda, kelompok penekan (pressure group), agen perubahan (agent of change), dan kelompok anti status quo.
Memang boleh dikatakan bahwa tugas awal mahasiswa adalah menekui bidang keilmuan tertentu dalam lembaga pendidikan formal. Sehingga, tidak jarang kelompok ini sering disebut sebagai ‘golongan intelektual muda’ yang penuh bakat dan potensial. Namun, posisi (dan status) yang demikian itu sudah barang tentu bersifat sementara karena kelak dikemudian hari mereka tidak lagi mahasiswa dan justru menjadi pelaku-pelaku inti dalam kehidupan suatu negara atau masyarakat. Dengan demikian, penulis rasa tak cukup mahasiswa hanya sekedar duduk manis mendengarkan dosen ceramah di kelas. Sudah saatnya mahasiswa mampu menjadi—meminjam istilah Mario Teguh—pribadi-pribadi yang unggul. Hal itu bisa ia lakukan dengan ikut bergabung dalam organisasi-organisasi di kampus. Karena di sanalah, tempat yang dianggap tepat sebagai ‘kawah condrodhimuko’ untuk sekedar sebagai batu loncatan awal. Menjadi mahasiswa sukses. Demikian. Bagaimana menurut Anda?
foto:http://static.technorati.com
Wednesday, December 15, 2010
Pengalaman Seorang Pencari Ilmu di Leipzig
Menginjakkan kaki ke Jerman, untuk studi atau riset, sudah menjadi mimpi saya sejak mahasiswa S1 tingkat satu di Indonesia. Alhasil, mimpi tersebut baru dapat terealisir, setelah DAAD memberikan surat persetujuan bagi saya untuk studi doktorat/PhD/S3 di jerman. Sewaktu saya berkirim surat dengan profesor di Pusat Bioinformatika Universitas Leipzig, belum ada bayangan akan seperti apa kota yang akan saya datangi. Begitu mengetahui bahwa Leipzig terletak di negara bagian Sachsen merupakan eks DDR (Deutsche Demokratische Republic), langsung saya terbayang beberapa film, yang menggambarkan betapa suramnya eropa timur dibawah pendudukan Uni Soviet. Sewaktu melakukan perjalanan ke Leipzig, bayang-bayang ‘pendudukan Soviet’ tersebut masih terasa di benak.
Namun, setelah menginjakkan kaki di stasiun Leipzig, ternyata semua itu hanya persepsi saya belaka. Leipzig ternyata telah menjadi kota besar, yang secara ekonomi dan politik sejajar dengan kota-kota lain di barat. Pembangunan kota Leipzig dilakukan secara ekstensif, sehingga infrastruktur transportasi tersedia dengan lengkap. Bangunan untuk apartemen mahasiswa, dimana saya tinggal, juga merupakan bangunan baru. Leipzig telah menjadi kota besar, dimana sudah semakin banyak dikunjungi orang asing.
Alhasil, dari sejak hari pertama tiba di pusat bioinformatika Uni Leipzig, saya sudah takjub dengan sistim kerja kelompok penelitian disana. Dalam institusi tersebut, sudah ada pembagian tugas yang sangat jelas, dalam hal penelitian. Sudah ada kelompok penelitian Bioinformatika yang memiliki kualitas diakui di seluruh eropa. Payung penelitian yang ada, pun memberikan pilihan-pilihan menarik bagi saya. Akhirnya saya memilih topik mengenai bioinformatika protein, karena itu yang lebih menarik dan sesuai dengan latar belakang saya di ilmu kimia. Berbeda dengan persepsi banyak orang mengenai Jerman, yang menganggap bahwa mereka tidak mau berbahasa Inggris, semua mahasiswa yang bekerja di pusat bioinformatika dapat berbahasa Inggris dengan baik.
Generasi muda Jerman memang sudah mulai mempelajari bahasa Inggris, karena pengaruh media massa dan internet. Sikap ‘anglophobia’ sudah mulai perlahan-lahan ditinggalkan oleh Jerman, semenjak semakin banyak dibuka kelas internasional dalam bahasa inggris. Hal yang sama juga sudah diterapkan di Uni Leipzig.
Banyak keluhan yang disampaikan kepada penulis, bahwa orang jerman sangat sukar untuk diajak berteman. Dalam kondisi normal, memang hal itu benar. Sebagai bangsa barat, kultur individualisme mereka sangat kuat. Peran keluarga sudah tidak sedominan di asia, sehingga hubungan antara anggota keluarga bahkan cenderung renggang. Bahkan dalam berteman sekalipun, orang jerman cenderung pemilih. Bukan pada faktor karena kita orang asing, namun lebih pada ‘chemistry’ apakah orang ini pantas dijadikan teman atau tidak. Bahkan diantara orang jerman sendiri, cenderung lingkaran pergaulan mereka tidak seluas orang Indonesia atau orang asia lainnya. Namun, ada beberapa tips, yang dapat mempermudah kita untuk menemukan teman orang jerman. Paling tidak, tips ini berfungsi dengan baik di Leipzig. Akan saya jabarkan di bawah.
Universitas Leipzig memiliki Departemen Studi Timur asing (Institut für Orientwissenschaft). Kompetensi utama dari departemen tersebut adalah melakukan kajian terhadap budaya timur atau asia. Di departemen tersebut, Bahasa Indonesia merupakan salah satu mata kuliah, yang juga diminati mahasiswa Jerman. Bahkan ada yang melakukan penelitian mengenai Bahasa Indonesia. Dalam konteks itu, kita bisa menemukan tandem partner dari mahasiswa jerman yang belajar bahasa Indonesia. Pusat bahasa Uni Leipzig memiliki situs internet, yang dapat mempertemukan kita dengan mahasiswa jerman yang sedang mempelajari bahasa Indonesia.
Dalam berkomunikasi dengan mahasiswa tersebut, kita dapat memperbaiki bahasa jerman, sambil mengajari dia bahasa Indonesia. Ini adalah interaksi yang sangat menarik, sebab kita memang bertemu orang jerman yang tertarik untuk berteman dengan orang Indonesia. Sampai sekarang, penulis telah mendapatkan sahabat baik orang jerman dari fasilitas tandem partner tersebut. Dia adalah mahasiswa jerman yang pernah tinggal di Indonesia selama setahun.
Kesan saya terhadap Leipzig, adalah, ini merupakan kota yang sangat bagus untuk memperdalam ilmu pengetahuan dan sangat menarik untuk mempelajari kultur yang berbeda dengan kita.
Sumber gambar: http://photos4you.net/__oneclick_uploads/
Contoh wawancara Bahasa Jawa
Wawanrembug
Kula : “Sugeng ndalu Bu Tutik?”
Bu Tutik : “Sugeng ndalu mas Adit. Dengaren mrene, ana kaperluan napa?”
Kula : “Kula badhe mewawancarai ibu . Angsal mboten Bu?”
Bu Tutik : “Oh, ya mboten napa-napa.”
Kula : “Kula nyuwun pangapunten amargi sampun ndalu kula malahan nganggu.
Panjenengan kagungan usaha ternak menapa lan kados pundi mulabukanipun ngingah ternak menika?”
Bu Tutik : “Wekdal menika kula usaha ternak ayam potong ( broiler ) saking yahun 1990 kalih atus ekor, sakmenika tigang doso gangsal ewu ekor.
Mulabukanipun, kula niti priksa bilih kabetahan daging ayam warga masyarakat saben tahunipun saya mindhak, awit saking menika kula nggadahi krentek nyobi ternak ayam broiler saking sekedik, lan Alhamdulillah ngantos wekdal menika saget ngrembaka lan lumampah kanthi lancar. “
Kula : “Kangge ngawekani lan nyegah penyakitipun, kados pundi bab tedanipun lan obat-obatanipun?”
Bu Tutik : “Pangopenipun dipun paringaken kandang piyambak, kandang menika kedah dipun resiki pendak dintenipun lan dipun semprot ngagem desinfektan supados kandang wau steril.
Masalah pakan, kedah dipun titi priksa lan dipun paring nutrisi ingkang sae.
Babagan oabt-obatan kedah rutin, obat saha tedanipun mundut saking poutry saha saking pabrik.”
Kula : “Pikantuk pembinaan saking pundi?”
Bu Tutik : “Pembinaan sampun mlampah kanthi sae, saking Dinas Peternakan dan Perikanan Kab. Sragen, UPTD Peternakan Kecamatan Kedawung saha saking PPL.”
Kula : “Ngingah ternak menapa kemawon ingkang saget dipun pendet hasilipun?”
Bu Tutik : “Ingkang saget dipun pendet hasilipun : dagingipun kagem peningkatan gizi keluarga, limbahipun (kotoran ayam) inggih saget kagem pupuk organik.”
Kula : “Pemsaranipun dateng pundi ? Lan hasil ternak menika sisa hasilipun kados pundi ?”
Bu Tutik : “Pemasaranipun kajaba dateng pasar ( masyarakat lokal Sragen ), ayam kala wau dipun puruki pembeli saking Surabaya, Solo, ugi daerah-daerah sekitar Kabupaten Sragen .
Hasilipun Alhamdulillah saget nyekapi kebutuhan kaluarga.”
Kula : “Menapa wonten kendala ? Kados pundi ingkang ngawekani ?”
Bu Tutik : “Biasanipun bilih mangsa ketiga kenging penyakit ngorok utawi pilek, kagem ngawekani dipun paring obat. “
Kula : “Menapa mupangatipun dateng kaluarga lan taggi tepalih?”
Bu Tutik : “Dateng kaluarga antawisipun saget ningkataken perekonomian keluarga.
Dateng tetanggi para tetanggi saget sinau kados pundi caranipun ngingah utawi usaha ayam broiler, sak menika para tetanggi katah ingkang ngingah ayam broiler.”
Kula : “Rancangan menapa ingkang badhe dipun tindakaken supados ternak panjenengan saya majeng malih ?”
Bu Tutik : “Nambah ternak ingkang sampun wonten, dipun tambah ngingah ayam petelur. Menapa malih menika sae lan permintaan samsoyo katah.”
Kula : “Matur suwun sanget nggih Bu amargi angsal mewawancarai Ibu.”
Bu Tutik : “O ya, menawa kagungan pernu mrene maneh ya Mas!”
Kula : “Inggih Bu.Sugeng ndalu.”
Label:
belajar
Contoh Kata Pengantar Formal
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Tugas Kimia yang membahas tentang Pemanasan Global. Penulisan ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata pelajaran Kimia. Namun penulis menyadari dalam penyusunan laporan ini masih jauh dari kesempurnaan dalam pembahasan materi. Namun demikian penulis merasa berbesar hati dan merasa bangga atas penyelesaian laporan ini.
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang berkenan membantu material maupun spiritual kepada penulis guna terselesainya penyusunan Tugas Kimia ini. Ucapan terima kasih tidak lupa kami ucapkan kepada :
1. Drs. Sunaryo selaku Kepala Sekolah SMA Negeri 2 Sragen.
2. Drs. Sumantri selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan serta petunjuk dalam penuyusunan laporan.
3. Teman – teman yang telah membantu dalam penyusunan tugas ini.
4. Semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu yang telah membantu kelancaran dalam penyusunan tugas ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan tugas ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk saran dan kritik yang bertujuan membangun sangat penulis harapkan. Semoga tugas ini bermanfaat bagi para pemerhati dan pembaca yang budiman.
Sragen, 23 November 2010
Penulis
Label:
belajar
Sunday, December 12, 2010
Pembangunan PLTN Bukan Proyek Mercusuar
Pro dan kontra rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Indonesia semakin meluas diperdebatkan akhir-akhir ini. Pertimbangan utama dari pihak yang menentang PLTN berangkat dari ketidakpercayaan terhadap kemampuan bangsa Indonesia untuk mengelola pembangunan dan pengoperasian teknologi pembangkitan listrik berdasarkan reaksi nuklir termal ini.
Budaya korupsi, ceroboh dan kurang disiplin dalam kehidupan sehari-hari disebutkan sebagai cerminan ketidaksiapan kita mengelola jenis teknologi yang terkesan menyeramkan. Penolakan PLTN di Indonesia juga didasarkan pada alasan bahwa manfaatnya lebih kecil dibandingkan dengan resiko bahaya yang bisa merugikan masyarakat dan lingkungan. Besarnya biaya awal (“capital cost”) PLTN, ketergantungan pada pasokan teknologi, bahan bakar & tenaga ahli dari segelintir negara maju, masalah penanganan limbah nuklir adalah beberapa alasan penting penolakan terhadap pembangunan PLTN di Indonesia. Kenyataan bahwa Indonesia terletak di wilayah rawan gempa, disamping masih tersedianya sumber-sumber energi lain seperti batubara, gas alam, panas bumi, hidro, surya, angin dan sumber alternatif lainnya juga dijadikan alasan keberatan terhadap pemanfaatan PLTN untuk mengatasi kekurangan pasokan listrik di Indonesia saat ini dan masa mendatang.
Alasan-alasan untuk menolak pembangunan PLTN di Indonesia sebenarnya dapat dipilah menjadi dua kelompok, yaitu pertimbangan teknis dan pertimbangan non-teknis. Pertimbangan teknis, misalnya keraguan dalam hal keselamatan operasi PLTN, umumnya dapat dicari jawabannya secara obyektif. Sebagai contoh, banyak pihak mengkhawatirkan bahwa PLTN akan “meledak” dan melepaskan sejumlah besar radiasi ke lingkungan bila terjadi peristiwa tidak normal. Analisis terhadap berbagai disain PLTN dan pengalaman operasi PLTN selama puluhan tahun di negara lain menunjukkan bahwa umumnya PLTN mempunyai sistem yang mampu untuk memadamkan operasinya secara otomatis (“automatic scram”) bila ada gangguan dari dalam (contoh: kesalahan operator) maupun dari luar (contoh: gempa).
Sebaliknya, pertimbangan non-teknis umumnya lebih sulit dicari jawabannya karena bersifat subyektif. Seperti misalnya kepastian/jaminan bahwa sejak dari proses tender proyek, selama masa konstruksi, sampai dengan masa pengoperasian PLTN tidak akan ada unsur KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) yang bisa mengancam keselamatan masyarakat dan lingkungan untuk selama 40-60 tahun (selang operasi sebuah PLTN). Keraguan sebagian masyarakat terhadap kemampuan kita untuk mengelola proyek raksasa senilai 4 – 8 milyar dollar AS (perkiraan biaya konstruksi sebuah PLTN berdaya ~1 Gigawatt) dengan bertanggungjawab memang agak sulit dijawab tanpa didukung bukti/prestasi dalam proyek-proyek besar sebelumnya di Indonesia.
Penulis berpendapat bahwa alasan-alasan untuk mendukung pembangunan PLTN di Indonesia mempunyai dasar yang kuat. Kebutuhan energi listrik sekarang dan masa depan jelas menunjukkan bahwa Indonesia perlu menambah daya listrik terpasang dalam jumlah besar (proyeksi kebutuhan tahun 2018 adalah sekitar 57 Gigawatt listrik, berdasarkan perhitungan PT PLN – Maret 2009). Teknologi PLTN di berbagai negara pengguna PLTN saat ini sudah terbukti aman, handal, ekonomis dan ramah lingkungan serta mempunyai kapasitas yang besar. Sementara itu ancaman perubahan iklim (“global warming”) akibat emisi karbon dari pembangkit listrik berbahan bakar fosil menuntut komitmen dari semua negara untuk segera membatasi penggunaan bahan bakar fosil tersebut. Sumber energi alternatif lainnya seperti panas bumi, hidro, surya, angin, biofuel harus lebih dikembangkan teknologi dan daya terpasangnya di Indonesia, namun patut juga diingat keterbatasan kapasitasnya.
Bangsa kita tidak punya banyak waktu untuk mengambil keputusan tentang saat yang tepat memulai pembangunan PLTN di Indonesia. Keputusan ini tentunya harus berdasarkan pada strategi energi jangka panjang untuk mendukung rencana pembangunan nasional jangka panjang. Dalam keputusan tersebut harus dijabarkan pula rencana alih teknologi PLTN dari pemasok asing kepada para ahli/teknisi dan industri di Indonesia. Bila PLTN direncanakan untuk menghasilkan (andaikan) 10% dari kebutuhan listrik di Indonesia pada tahun 2018, maka pada tahun tersebut harus siap beroperasi 4 atau 5 unit PLTN masing-masing berdaya sekitar 1 Gigawatt listrik. Dalam kerangka alih teknologi, sebaiknya pemerintah mempunyai target agar PLTN unit yang ke-5 (misalnya) sudah sepenuhnya dirancang dan diproduksi di Indonesia serta mampu dioperasikan sepenuhnya oleh tenaga ahli Indonesia. Cina, India dan Korea Selatan telah membuktikan keberhasilan mereka dalam program alih teknologi PLTN.
Dalam tiga tahun terakhir ini banyak negara yang telah mencanangkan, bahkan memulai, proyek pembangunan PLTN baru. Tahun ini terdapat 58 unit PLTN baru di 14 negara yang sedang dalam masa konstruksi; untuk tahun-tahun berikutnya terdapat sekitar 148 unit PLTN di 27 negara yang telah direncanakan pembangunannya (sumber: World Nuclear Association – Nopember 2010). Diantara negara-negara yang merencanakan akan membangun PLTN untuk pertama kalinya adalah Uni Arab Emirat, Turki, Mesir, Jordania, Vietnam, Thailand, Belarus, Kazakhstan, Polandia dan Indonesia. Akhir-akhir ini terdengar pula rencana serupa dari tetangga kita Malaysia dan Singapura.
Dalam usaha mendapatkan dukungan terhadap pembangunan PLTN di Indonesia, pihak-pihak lembaga pemerintah, DPR, LSM dan swasta bekerja keras untuk melakukan sosialisasi PLTN kepada masyarakat. Seperti halnya di negara-negara lain, penolakan terhadap PLTN sebagian besar disebabkan oleh terbatasnya pengetahuan masyarakat tentang teknologi yang sering disamakan dengan bom atom/nuklir ini. BATAN telah berpengalaman mengoperasikan tiga reaktor riset sejak tahun 1964 dan memiliki sejumlah pakar nuklir berpendidikan tinggi lulusan universitas di dalam dan luar negeri. Dalam program sosialisasi PLTN kepada masyarakat sering dinyatakan bahwa SDM Indonesia telah siap membangun dan mengoperasikan PLTN. Namun perlu disebutkan bahwa reaktor daya mempunyai perbedaan dalam hal desain, sifat, penggunaan dan cara operasi dibandingkan dengan reaktor riset. Tidak semua pengetahuan dan pengalaman yang didapat dari pengoperasian reaktor riset bisa diterapkan dalam pengoperasian reaktor daya. Seperti halnya dengan jenis teknologi canggih lain, teknologi PLTN mencakup berbagai bidang keahlian/spesialisasi; sebagian keahlian ini hanya bisa diperoleh dari pengalaman merancang dan mengoperasikan PLTN selama bertahun-tahun. Disinilah pentingnya program alih teknologi dari pemasok PLTN, kerjasama dengan negara lain yang berpengalaman dalam pembangunan dan pengoperasian PLTN, serta dukungan teknis dari badan-badan nuklir internasional seperti IAEA (International Atomic Energy Agency), WANO (World Association of Nuclear Operators), dsb.
Keputusan pemerintah untuk menerapkan teknologi PLTN tentunya didasarkan pada analisis proyeksi kebutuhan listrik nasional jangka panjang. Oleh karenanya dalam sosialisasi PLTN kepada masyarakat hendaknya tidak digunakan alasan bahwa kita ingin membangun PLTN di Indonesia agar bangsa Indonesia tidak ketinggalan atau diremehkan oleh bangsa lain. Konsep menjaga martabat/gengsi bangsa tanpa didasari oleh perencanaan matang dan pertimbangan rasional, seperti pada “proyek mercusuar” dimasa lalu, tidak selayaknya digunakan sebagai alasan untuk membangun PLTN di Indonesia.
foto:http://stat.k.kidsklik.com/
WikiLeaks: Gosip Macam Apa?
Mendadak saja dunia politik dihebohkan oleh dokumen yang disebarkan WikiLeaks. Beragam kisah di balik sepak terjang politik Amerika Serikat berkaitan dengan negara lain, termasuk Indonesia. Mulai dari hal konyol macam pesta liar perdana mentri Italia, hingga hal mengerikan pembantaian di Baghdad. Apakah semua informasi itu fakta atau fiksi?
Informasi mencengangkan dari WikiLeaks memicu gosip di seantero dunia. Bagaimana sebaiknya kita menyikapi gosip yang kadang destruktif atau memicu sikap negatif?
Ilmuwan berpendapat bahwa membicarakan orang lain dapat membantu kita mencerna informasi penting. “Sebuah kelompok yang membahas gosip dapat melahirkan kebenaran dari sesuatu informasi,” jelas Charles Walker, psikolog dari St. Bonaventure University, New York, seperti yang diansir LiveScience. “Aktivitas itu semacam membuat berita secara informasl, mereka tidak lagi sekedar memuaskan rasa ingin tahu satu sama lain.”
Menurut Walker, gosip jarang yang palsu, bahkan ia menganalisa kepalsuan dalam gosip itu hanya kurang dari 10% saja, itupun secara disengaja.
Dalam buku “Grooming, Gossip, and the Evolution of Language,” (Harvard University Press, 1998), antropolog dari Oxford, Robin Dunbar, berpendapat bahwa gosip dan bahasa sudah dikenal bangsa primata sejak lama, baik bergosip secara langsung atau melalui media massa, an kini Internet.
Walker mengemukakan, gosip negative biasanya muncul ketika orang yang digosipkan tidak menanggapi gosip sebelumnya, sehingga si penggosip mencari-cari sisi jelek dari obyeknya. Gosip negated memang lebih banyak disukai, terbukti sebanyak 60-70% gosip yang beredar adalah gosip negatif. Barangkali ini yang menjadi dasar idiom“bad news is a good news”.
Lalu bagaimana dengan informasi dari WikiLeaks yang kini jadi bahan omongan dimana-mana? Gosip yang dipicu WikiLeaks bisa jadi tidak akan memiliki efek jangka panjang, demikian menurut Gary Alan Fine, sosiolog dari Northwestern University, Illinois, dan penulis “The Global Grapevine: Why Rumors of Terrorism, Immigration and Trade Matter” (Oxford University Press, 2010).
Gosip WikiLeaks bisa jadi akan dipakai untuk membentuk reputasi politik seseorang atau sekumpulan orang. Jika informasi itu hanya seputar apa yang dilakukan perdana mentri Turki di waktu senggangnya, maka tak banyak orang tertarik. Kebocoran informasi yang disebarkan WikiLeaks baru akan menjadi masalah serius ketika sungguh-sungguh mengancam reputasi seseorang atau negara.
Diterjemahkan secara bebas dari LiveScience.com
Foto: http://lutviah.files.wordpress.com/
Saturday, December 4, 2010
Perbedaan Gaya Berpikir Perempuan dan Laki-laki
Ada tiga hal yang membedakan lelaki dan perempuan, yaitu struktur fisik, organ reproduksi dan cara berpikir. Struktur otak dan pengaruh hormonal diketahui sebagai penyebab perbedaan tersebut.
Perempuan dan laki-laki memang berbeda dalam cara menyelesaikan masalah (way of problem solving) namun perbedaan itu tidak menunjuk pada kualitas berpikir. Kombinasi dua gaya berpikir dan perbedaan kedalaman emosional membuat dua makhluk ciptaan menjadi istimewa jika bekerja sama. Perbedaan itu layaknya siang-malam, hitam-putih, baik-jelek, atau tinggi-rendah. Mereka tak mungkin disamakan, karena memang berbeda.
Gender merupakan suatu konstruksi sosial atas perbedaan peran perempuan dan laki-laki. Struktur otak perempuan dan laki-laki pun berbeda. Namun perbedaan disini tidak menghasilkan perbedaan dalam tingkat kecerdasan (level of intelligence) kecuali bagaimana mereka mengatur kecerdasan mereka sendiri. Pada peran misalnya, perempuan cenderung lebih suka pada peranan domestik, sementara laki-laki pada peranan publik, termasuk dalam urusan seks, perempuan lebih ‘’pemalu’’ dan laki-laki justru lebih agresif.
Implikasi menunjukkan perbedaan dalam hal emosi, tingkah laku seksual, proses berbahasa, kemampuan sosial dan problem-problem matematis. Perbedaan tersebut terjadi karena faktor genetika yang memang telah ‘’diciptakan’’ sedemikian rupa dari sono-nya. Tanpa diberikan pengarahan dan pendidikan apapun, perempuan cenderung menyukai boneka dan alat dapur, sedangkan si laki-laki memilih mobil-mobilan.
Emosi
Kebanyakan kriminalis adalah kaum laki-laki. Kebanyakan perangkai bunga adalah kaum perempuan. Ini bukan sebuah ungkapan tanpa dasar.Richard Haier, guru besar saraf dari Universitas California di Irvine, berhasil membuktikan bahwa kenyataan tersebut mempunyai dasar ilmiah. Haier, dengan alat bantu PET (Positron Emission Tomorgraphy), menemukan kenyataan bahwa ketika menganggur, aktivitas otak laki-laki lebih banyak terjadi pada daerah limbic temporal. Daerah ini adalah pengatur emosi yang berhubungan dengan aksi motorik, teristimewa perilaku ‘’yang suka memukul jika sedang marah’’. Laki-laki yang beringas, apalagi ketika marah dengan emosi tidak terkontrol, akan disalurkan melalui pukulan tangan, tendangan kaki dan makian. Apabila ia memegang senjata atau pisau, hampir pasti seseorang di hadapannya akan cedera dan luka-luka. Tidak usah heran, daerah limbic temporal merupakan sisa dari otak reptil ketika mengalami proses evolusi. Sangat menarik, karena istilah ‘’buaya darat’’ (buaya adalah salah satu jenis reptil) lebih kerap dipakai untuk menunjuk para laki-laki hidung belang.
Sebaliknya, pada kaum perempuan saat istirahat, aktivitas otak lebih banyak terjadi pada cingulate gyrus. Daerah ini, yang dalam evolusi merupakan turunan otak mamalia sebenarnya bertanggung jawab dalam mengontrol ekspresi emosi. Ketika marah, seorang perempuan cenderung membelalakkan matanya daripada memukul, menendang atau memaki.
Kemampuaan Berbahasa
Menakjubkan, sifat cerewet perempuan ternyata memiliki dasar biologis. Dalam mengumbar kata-kata, perempuan memang lebih hebat daripada laki-laki. Perempuan memang lebih verbalistis dan memiliki banyak perbendaharaan kata, termasuk jarang melakukan kesalahan berbahasa. Salah satu efeknya, mereka dapat lancar mengungkapkan masalah-masalah emosional yang mereka rasakan. Penghubung belahan otak, korpus kalosum, memang lebih tebal pada perempuan. Dengan itu, aliran informasi menjadi lebih cepat dan lebih banyak.
Ketika menanjak dewasa, perkembangan bahasa lebih cepat pada anak perempuan. Mereka lebih cepat berbicara, cepat membaca, dan jarang ada kelalaian dalam belajar. Menurut ahli saraf, Sally Shaywitz dan Bennet Shaywitz, ini bisa terjadi karena anak perempuan memakai kedua belahan otaknya saat membaca atau melakukan kegiatan berbahasa lainnya. Perempuan, dalam beberapa kasus, lebih dapat membahasakan, atau menceritakan, apa yang ia rasakan (status emosi). Ia dapat menata kata dan kalimatnya secara teratur, memilih jenis kata (aspek linguistik) yang dapat melukiskan perasaannya, dan memilih intonasi dan aksentuasi tertentu yang mendukung emosinya (aspek paralinguistik).
Pengenalan Ruang (Spasial)
Dalam membayangkan (mental image) posisi atau gerakan, laki-laki lebih unggul daripada perempuan. Laki-laki, hanya dengan pembayangan di dalam pikirannya, dapat melukiskan posisi dan gerakan sebuah benda tiga dimensi. Pada bagian otak laki-laki, Lobus parietal bawah, adalah penanggung jawab pengenalan spasial. Dan pada laki-laki, ukurannya kurang lebih 6 persen lebih besar dibandingkan perempuan. Daerah itu mengatur ‘’kemampuan visio-spasial’’ dan sangat perlu untuk tugas-tugas matematika dan arsitektur. Perlu dipahami bahwa dalam kemampuan pengenalan ruang, laki-laki lebih unggul daripada perempuan, tetapi itu bukan dasar bagi perbedaan kecerdasan.
Lobus parietal bawah, pada seorang lelaki genius bernama Albert Einstein, ternyata 15 persen lebih lebar dibandingkan pada 36 otak laki-laki dan 56 otak perempuan lainnya. Sandra Witelson, ahli saraf dan pengelola bank otak di Kanada, menemukan keunikan setelah menganalisis penggalan-penggalan otak Einstein, yang meninggal tahun 1955 karena pecahnya pembuluh darah otak. Perbedaan ukuran otak Eistein cocok betul dengan perilaku ilmiahnya ketika hidup. Einstein, dalam beberapa kesempatan, sering menceritakan cara ia memperoleh beberapa rumus matematika. Ia cukup ‘’menghayal’’ atau membayangkan otaknya saja, lalu diadakan pembuktian di laboratorium. Teori relativitas yang sangat terkenal, misalnya, lahir dari ‘’khayalan’’ Einstein tentang manusia yang mengarungi alam semesta dengan sekejap mata saja. Imajinasi visio-spasial seperti itu laki-laki lebih unggul daripada perempuan.
Dari semua yang diuraikan diatas, bahwa memang laki-laki dan perempuan berbeda. Perjuangan para feminis, dengan kesetaraan gender dan emansipasi dalam kehidupan sehari-hari, akan memiliki implikasi jika disadari perbedaan tersebut. Keberadaan Hawa yang menemani Adam, sebagaimana diceritakan dalam kitab-kitab suci adalah sebuah keseimbangan. Untuk mengetahui malam, harus ada siang, untuk mengetahui putih, harus ada hitam. Keseimbangan-keseimbangan tersebut telah dibuat sedemikian rupa. Menjaga keseimbangan itu jauh lebih penting daripada mencoba-coba melahirkan keseimbangan-keseimbangan baru. (Sumber: Revolusi IQ/EQ/SQ; Taufiq Pasiak, Mizan, 2008)
foto: http://thumbs.dreamstime.com/thumblarge_278/1213058968H0crIj.jpg
Subscribe to:
Posts (Atom)