TRANSLATE THIS BLOG

Translate this page from Indonesian to the following language!

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Widget edited by Anang

Monday, April 18, 2011

Menuai Bahan Bakar Alternatif dari Sampah Kebun

Netsains.com - Tidak dapat dipungkiri bahwa hingga saat ini, bahan bakar fosil merupakan bahan bakar yang paling luas dan paling sering digunakan oleh seluruh manusia di dunia ini. Penggunaan jenis bahan bakar ini semakin lama semakin tinggi, seiring dengan meningkatnya aktivitas dan jumlah penduduk bumi ini.
Kenyataan itulah yang membuat dunia sekarang berada pada dua ancaman sekaligus: pemanasan global yang terus meningkat sekaligus kelangkaan sumber energi masa depan akibat berkurangnya bahan bakar fosil.
Beberapa solusi pun mulai ditawarkan oleh para ilmuwan. Salah satu yang paling efektif dan ramai diperbincangkan adalah penggunaan bahan bakar alternatif. Bahan bakar alternatif yang ramai diteliti para ilmuwan saat ini biasanya berasal dari sumber yang terbarukan atau tidak dapat habis seperti cahaya matahari, air, angin, panas bumi, dan biomassa. Hingga saat ini umumnya penelitian mengenai pemanfaatan terhadap sumber energi terbarukan tersebut cukup banyak, namun belum seluruhnya efektif dan efisien.
Suatu terobosan ilmiah terbaru berhasil ditemukan sebuah tim riset yang terdiri atas para insinyur teknik kimia dari University of Massachusetts Amherst berhasil mengembangkan suatu mesin yang dapat memproduksi berbagai macam senyawa hidrokarbon dengan bahan baku minyak pirolisis sampah kebun atau sejenisnya.
Ya, sampah kebun seperti kayu, ranting, cabang, kulit pohon, rumput-rumput, dedaunan, dan bagian tumbuhan lainnya merupakan sumber alami biomassa yang mengandung banyak selulosa dan minyak bio. Suatu proses pirolisis terhadap biomassa seperti ini dapat mengekstrak minyak bio yang terkandung di dalamnya untuk selanjutnya dapat diolah kembali menjadi berbagai senyawa hidrokarbon. Pirolisis merupakan dekomposisi termal bahan-bahan organik tanpa keberadaan oksigen, sehingga bahan organik yang terkandung di dalamnya tidak teroksidasi.
Tim peneliti tersebut telah berhasil membuat mesin yang dapat memproduksi berbagai senyawa hidrokarbon secara lebih efektif dan efisien dari minyak bio hasil pirolisis karena dapat menhasilkan rendemen produk yang lebih tinggi. Senyawa yang dihasilkan antara lain benzena, toluena, xilena, berbagai senyawa olefin (alkena), dan senyawa alkohol (seperti metanol dan etanol). Senyawa-senyawa hidrokarbon tersebut dapat digunakan sebagai bahan baku kimia maupun sebagai sumber energi alternatif. Tim ini memperkirakan jika seluruh industri kimia di dunia dapat menggunakan senyawa biopirolisis yang dihasilkan mesin ini daripada menggunakan bahan bakar fosil akan terjadi penghematan hingga USD 400 milyar setiap tahunnya. Suatu jumlah yang sangat besar.
Hasil penelitian ini tentu dapat memberi nilai tambah terhadap sampah-sampah organik yang ada di kebun pekarangan rumah kita ataupun di lingkungan lain yang serupa. Selain dapat diubah menjadi pupuk kompos, sampah tersebut juga dapat menghasilkan berbagai senyawa kimia yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku produk kimia maupun sumber energi alternatif.
Sumber: www.sciencedaily.com

Saturday, April 16, 2011

Cochineal dan Sejarah Warna Merah

Netsains.Com - Desember 2010 lalu saya ketiban sampur mempresentasikan sebagian hasil kerja grup kerja di pertemuan entomolog Amerika di San Diego, California. Sebagaimana kebiasaan jaman kuliah, konferensi ilmiah macam ini adalah kesempatan untuk networking, menjaring ide dan jalan-jalan menengok satu sudut bola bumi. Dalam rangka jalan-jalan mengendus sejarah lokal inilah saya bertemu dengan cochineal dan sejarah panjang warna merah.

Area di ujung selatan negara bagian California yang berbatasan dengan Meksiko ini sudah berabad jadi rumah suku Indian Kumeyaay. Ekspedisi Eropa pertama menginjakkan kaki di San Diego di pertengahan abad XV, hanya beberapa dekade setelah Hernan Cortes menaklukan Imperium Aztec di Meksiko. Selama 300 tahun setelah itu, San Diego, atau San Miquel (nama yang pertama kali diberikan untuk San Diego), menjadi titik singgah bagi ekspedisi-ekspedisi dagang dan tambang buat Spanyol yang saat itu merajai Meksiko, California dan sebagian besar Amerika latin. Ketika Meksiko memerdekakan diri dari Spanyol, provinsi Alta California diciptakan sebagai bagian dari negara baru bernama Meksiko. Di sekitar waktu yang sama, penduduk San Diego mengajukan petisi untuk menjadikan San Diego satu kota tersendiri. Petisi ini disetujui dan kota San Diego pun muncul di peta untuk pertama kali. Pusat kota baru ini ditetapkan di kaki bukit Presidio, di rumah Gubernur, penjara dan lapangan besar tempat pasar reguler berada. Tiga puluh tahun berselang, California jatuh ke tangan Amerika Serikat dan pusat kota San Diego dipindahkan ke dekat pelabuhan untuk memfasilitasi upaya ekspor dan impor. Sampai sekarang, pusat kota lama San Diego masih terpreservasi dengan cukup baik. Dinas pertamanan (Park Service) Amerika Serikat membangun situs cagar sejarah untuk melindungi gedung-gedung tua yang sempat jadi saksi sejarah kota ini. "Old Town", demikian penduduk lokal menyebut situs cagar sejarah yang cukup banyak menyedot perhatian wisatawan ini.
Di hari ketiga di San Diego, salah seorang teman dari South Dakota mengajak saya untuk makan fish burrito di dekat kompleks Old Town. "Kebetulan," pikir saya. Saya memang sedang mencari-cari waktu untuk mengunjungi cagar sejarah ini. Setelah makan siang, kami berpisah jalan. Ia kembali ke konferensi sementara saya jalan-jalan mencuci mata di seputar Old Town. Sejam berlalu, dan saya pun memutuskan untuk kembali ke gedung konferensi.
Persis di tikungan keluar dari kompleks Old Town, mata saya terantuk ke segerumbul kaktus Opuntia di pinggir jalan. Beberapa gumpalan putih mirip kapas nampak tersangkut di permukaan kaktus tadi. Rasa penasaran saya terusik. Tiga tahun lalu, di rawa-rawa Florida bersama dengan segerombol mahasiswa entomologi yang tengah mengadakan ekspedisi koleksi serangga, sempat tersua kaktus dengan gumpalan putih serupa. Ketika itu, Dr. Williams, mentor kami yang juga ahli taksonomi serangga homoptera menantang untuk meremas gumpalan putih tadi di antara jemari. Ketika salah seorang meladeni tantangannya, cairan warna merah meletup keluar dari 'gumpalan kapas' di antara jemarinya. "Itu cochineal.", terang Dr. Williams pendek.
Koloni cochineal dengan asam karminik merah tua dari tubuh mereka
Koloni cochineal dengan asam karminik merah tua dari tubuh mereka
Cochineal adalah serangga dari ordo Homoptera dan super family Coccoidea. Serangga ini punya hubungan kekerabatan dekat dengan aphid. Seperti aphid, cochineal punya mulut yang teradaptasi untuk menusuk dan menghisap cairan tanaman. Hampir segera setelah lahir, cochineal betina menusukkan mulutnya ke kaktus dari genus Opuntia untuk kemudian makan dengan menghisap cairan kaktus. Menariknya, cochineal betina tidak memiliki kaki untuk berpindah diri. Sekali ia mencucukkan mulutnya ke kaktus, tak lagi ia berpindah tempat sampai mati. Dengan gaya hidup yang sedemikian, cochineal pun jadi sasaran empuk sebagai mangsa predator macam burung, kadal dan semut. Untuk mempertahankan diri dari predator cochineal memproduksi senyawa kimia bernama asam karminik. Rasa dan bau asam karminik membuat semut dan burung tak sudi mengunyah cochineal.
Asam karminik punya karakter unik lain yang meski tak menguntungkan buat cochineal, namun mengorbitkan serangga kecil ini ke galaksi perdagangan dunia. Asam karminik punya warna merah gemilang yang mampu mewarnai berbagai bahan tekstil. Sebelum cochineal ditemukan, warna merah pada tekstil di Eropa didapatkan menggunakan berbagai pewarna nabati. Sesemakan dari genus Rubia sudah sejak jaman Yunani purba jadi andalan pewarna merah di Eropa. Masalahnya, warna merah yang didapat dari tanaman Rubia tidaklah konsisten. Salah sedikit, warna yang didapat dari Rubia bisa melenceng ke oranye atau kuning. Lebih problematis lagi, warna merah dari Rubia dikenal cepat kusam atau pudar diterpa sinar matahari.
Di sisi lain, sudah sedari jaman Romawi dan Yunani purba, tekstil warna merah punya asosiasi dengan glamor dan keluarga kerajaan. Plini menulis bahwa senator-senator Yunani dan Romawi punya kebiasaan memakai jubah berwarna ungu, yang karena ketidak tepatan proses pewarnaan tekstil di masa itu mengacu ke kisaran antara warna ungu dan merah. Di masa pertengahan, warna merah diadopsi menjadi warna resmi Vatican oleh gereja Katolik. Warna merah juga jadi warna kebanggaan berbagai wangsa monarki Eropa. Dalam desain orisinalnya, berbagai kain yang dipakai untuk mendekorasi ruangan-ruangan istana Versailes di Perancis pun berwarna merah. Tekstil warna merah dikenal mahal karena langkanya pewarna tekstil yang mampu memberi warna merah cemerlang di masa itu. Sedemikian berharganya nya warna merah pada tekstil, sampai-sampai serikat kerja pewarna tekstil di beberapa kota Itali abad XII menetapkan hukuman mati buat anggota yang membocorkan rahasia pewarna dan proses pewarnaan tekstil merah ke serikat kota lain. Bahkan sampai hari ini, warna merah masih punya pamor tersendiri. Di gelarnya karpet merah di acara-acara penuh glamor macam penghargaan Oscar dan Emmy, misalnya, punya akar di kelangkaan pewarna tekstil warna merah sekian ratus tahun lalu.
Pekerja Indian tengah memanen cochineal menggunakan kuas ekor rusa
Pekerja Indian tengah memanen cochineal menggunakan kuas ekor rusa
Kembali ke San Diego, saya berjalan mendekat ke gerumbul kaktus di pintu keluar Old Town dan memijit salah satu gumpalan putih di salah satu permukaan kaktus tadi. Demi melihat cairan berwarna merah meletup dari gumpalan ini, saya pun tersenyum. Ini kali kedua kita bertemu, cochineal.
Ketika Hernan Cortes menaklukan Imperium Aztec, adalah emas dan logam berharga lain yang ia cari. Tanpa ia sadari, Cortes tengah tersandung ke salah satu komoditas dagang paling menguntungkan: cochineal. Cochineal sudah lama jadi pewarna merah buat kebudayaan Aztec. Produksi cochineal jadi salah satu mata pencaharian di masa itu. Serangga kecil ini sengaja di'ternak'kan di Oaxaca, salah satu kota Aztec, sebagaimana ulat sutra diternakkan di China purba.
Sepanjang empat ratus tahun setelah penaklukan Aztec, cochineal jadi produk eksport nomor dua, setelah perak, dari dunia baru ke Eropa. Warna merah cemerlang yang tak pudar oleh matahari dari serangga cochineal membuatnya menjadi hit instan di pasar Eropa. Cochineal dipasarkan di Eropa sebagai pelet kering dengan cairan merah di dalamnya. Pekerja dan pedagang pewarna di Eropa dan Asia pun menggaruk kepala melihat pewarna dari dunia baru ini: mereka tak tahu apakah pelet ini sebenarnya. Tanaman, serangga atau mineral? Spanyol menjaga rahasia cochineal dengan ketat selama dua ratus tahun, sampai di tahun 1777 botanis asal Perancis menyelundupkan sepotong kaktus opuntia dengan koloni serangga cochineal ke Santo Domingo dan menjual rahasia ini ke Perancis. Pemakaian cochineal sebagai pewarna merah pada tekstil baru menurun drastis dengan ditemukannya berbagai pewarna sintetis di pertengahan abad XIX.
Tak setiap hari kita bersua dengan sekeping sejarah manusia. Namun buat saya, serangga cochineal di tikungan jalan keluar dari Old Town San Diego ini terasa benar sebagai sekeping kecil dari puzzle besar bernama peradaban.

Hepatoma, The Silent Killer

Hepatoma atau Karsinoma hepatoseluler adalah tumor ganas hati primer yang paling sering ditemukan daripada tumor ganas di hati lainnya, seperti limfoma maligna, fibrosarkoma dan hemangioendotelioma. Penyakit ini paling sering ditemukan di China dan kawasan Asia Tenggara.
Hepatoma selain sering menimbulkan gangguan faal pada hati, juga membentuk beberapa jenis hormon yang dapat meningkatkan kadar hemoglobin, kalsium, kolesterol dan alfa feto protein di dalam darah. Gangguan faal hati menyebabkan peningkatan kadar SGOT, SGPT, fosfatase alkali, laktat dehidrogenase, dan alfa L-fukosidase.
Pasien hepatoma 88% terinveksi virus hepatitis B atau C. Dan kedua virus ini mempunyai hubungan yang erat dengan timbulnya hepatoma. Hepatoma seringkali tidak terdiagnosis karena gejala karsinoma tertutup oleh penyakit yang mendasari yaitu sirosis hati atau hepatitis kronik. Dan lebih dari 80% pasien hepatoma menderita sirosis hati.
Dasar terapi dari hepatoma adalah operasi, terutama pada hepatoma kecil yang diameternya kurang dari 5cm dan tunggal.
Tidak sedikit pakar berpendapat, untuk terapi hepatoma kecil cangkok hati lebih baik daripada lobektomi. Dewasa ini hepatoma kecil disertai sirosis terapi pilihan pertama adalah cangkok hati. Alasannya adalah, hepatoma yang timbul diatas sirosis seringkali bersifat multifokal, bila direseksi satu, di tempat lain akan timbul lagi. Sedangkan sirosis bersifat progresif, bila hanya dilakukan lobektomi, tidak mungkin dapat menyembuhkan sirosis, bahkan seringkali hipertensi portal dipersulit dengan pendarahan hebat dan kegagalan fungsi hati.
Hepatoma atau karsinoma hepatoseluler biasa dan sering terjadi pada sirosis hati yang merupakan komplikasi hepatitis virus kronik. Hepatitis kronik adalah faktor resiko penting hepatoma, virus penyebabnya adalah virus hepatitis B dan C.
Pada awalnya, gejala hepatoma tidak begitu tampak. Jika pun tampak, biasanya sudah stadium lanjut dan harapan hidup pasien sekitar beberapa minggu sampai beberapa bulan. Keluhan yang paling sering dirasakan oleh pasien pada awalnya adalah berkurangnya selera makan, penurunan berat badan, nyeri di perut kanan atas dan mata tampak kuning.
Untuk deteksi dan menegakkan diagnosis hepatoma pada pasien sirosis, hepatitis B kronik, hepatitis C kronik, diperlukan pemeriksaan penunjang seperti CT Scan dan USG. Pemeriksaan ini sangat membantu karena dapat menemukan tumor yang masih berukuran kecil dan gejalanya tertutup oleh sirosis hati ataupun hepatitis.
Kanker hati ini merupakan silent killer karena tidak ada gejala yang khas sampai akhirnya pasien tahu bahwa tubuh sudah ada kanker hati bahkan sudah sampai stadium ke stadium lanjut. Hepatoma tidak bisa diobati tetapi hanya bisa mengurangi rasa sakit dan terapinya seperti yang telah disebutkan diatas, yaitu cangkok hati.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan hingga saat ini sekitar dua milyar orang terinveksi hepatitis B (sebagai cikal bakal hepatoma) di seluruh dunia dan 350 juta diantaranya berlanjut menjadi infeksi hepatitis B kronis. Diperkirakan 600.000 orang meninggal dunia per tahun karena penyakit tersebut. Di Indonesia, angka kematian infeksi hepatitis diperkirakan mencapai 5-10 persen dari jumlah penduduk. (sumber: Republika  01 Februari 2011)
Prof. dr Ali Sulaiman, Sp PD.KGEH, guru besar dari divisi Hepatologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia menjelaskan, proses hepatitis menjadi kanker boleh dibilang butuh waktu panjang. Di awal virus hepatitis B akan masuk ke dalam tubuh yang kemudian virus tersebut merusak dan merangsang sel-sel beraktivasi. Akibatnya sel-sel tersebut membentuk benjolan pada hati yang bila dibiarkan akan menjadi sirosis hingga kanker hati. Proses ini juga dipengaruhi gen dalam riwayat keluarga yang ternyata memiliki keterkaitan penyakit hepatitis.  Selain itu faktor lainnya adalah obesitas, perlemakan hati, merokok, menkonsumsi alkohol dan pengguna steroid anabolik jangka panjang.
Sebagian besar penderita kanker hati dan hepatitis merupakan kaum pria, dengan data jumlah perbandingannya dengan perempuan sebesar 3:1 hingga 5:1. Penyebab pasti mengapa laki-laki lebih banyak menderita kanker hati masih belum jelas betul. Namun diduga disebabkan adanya perbedaan hormonal dan  intensitas kegiatan laki-laki yang banyak menghabiskan waktu diluar. Pendapat lain, mengatakan bahwa perempuan memiliki sistem kekebalan tubuh yang lebih kuat dibanding laki-laki.
Pencegahan hepatoma adalah dengan mencegah penularan virus hepatitis B ataupun C. Vaksinasi merupakan pilihan yang bijaksana, tetapi saat ini baru tersedia vaksinasi untuk virus hepatitis B.
Penyakit yang telah banyak memakan korban ini, masih menjadi peristiwa yang menakutkan karena virus yang menjadi penyebabnya belum bisa sepenuhnya dijinakkan. Adalah benar bahwa mencegah adalah lebih baik daripada mengobati. Karena itu, siapapun yang peduli terhadap keselamatan jiwa memerlukan kewaspadaan  kesehatan pribadi yang tinggi.
foto: klikdokter.com