Netsains.Com - Desember 2010 lalu saya ketiban sampur mempresentasikan sebagian hasil kerja grup kerja di pertemuan entomolog Amerika di San Diego, California. Sebagaimana kebiasaan jaman kuliah, konferensi ilmiah macam ini adalah kesempatan untuk networking, menjaring ide dan jalan-jalan menengok satu sudut bola bumi. Dalam rangka jalan-jalan mengendus sejarah lokal inilah saya bertemu dengan cochineal dan sejarah panjang warna merah.
Area di ujung selatan negara bagian California yang berbatasan dengan Meksiko ini sudah berabad jadi rumah suku Indian Kumeyaay. Ekspedisi Eropa pertama menginjakkan kaki di San Diego di pertengahan abad XV, hanya beberapa dekade setelah Hernan Cortes menaklukan Imperium Aztec di Meksiko. Selama 300 tahun setelah itu, San Diego, atau San Miquel (nama yang pertama kali diberikan untuk San Diego), menjadi titik singgah bagi ekspedisi-ekspedisi dagang dan tambang buat Spanyol yang saat itu merajai Meksiko, California dan sebagian besar Amerika latin. Ketika Meksiko memerdekakan diri dari Spanyol, provinsi Alta California diciptakan sebagai bagian dari negara baru bernama Meksiko. Di sekitar waktu yang sama, penduduk San Diego mengajukan petisi untuk menjadikan San Diego satu kota tersendiri. Petisi ini disetujui dan kota San Diego pun muncul di peta untuk pertama kali. Pusat kota baru ini ditetapkan di kaki bukit Presidio, di rumah Gubernur, penjara dan lapangan besar tempat pasar reguler berada. Tiga puluh tahun berselang, California jatuh ke tangan Amerika Serikat dan pusat kota San Diego dipindahkan ke dekat pelabuhan untuk memfasilitasi upaya ekspor dan impor. Sampai sekarang, pusat kota lama San Diego masih terpreservasi dengan cukup baik. Dinas pertamanan (Park Service) Amerika Serikat membangun situs cagar sejarah untuk melindungi gedung-gedung tua yang sempat jadi saksi sejarah kota ini. "Old Town", demikian penduduk lokal menyebut situs cagar sejarah yang cukup banyak menyedot perhatian wisatawan ini.
Di hari ketiga di San Diego, salah seorang teman dari South Dakota mengajak saya untuk makan fish burrito di dekat kompleks Old Town. "Kebetulan," pikir saya. Saya memang sedang mencari-cari waktu untuk mengunjungi cagar sejarah ini. Setelah makan siang, kami berpisah jalan. Ia kembali ke konferensi sementara saya jalan-jalan mencuci mata di seputar Old Town. Sejam berlalu, dan saya pun memutuskan untuk kembali ke gedung konferensi.
Persis di tikungan keluar dari kompleks Old Town, mata saya terantuk ke segerumbul kaktus Opuntia di pinggir jalan. Beberapa gumpalan putih mirip kapas nampak tersangkut di permukaan kaktus tadi. Rasa penasaran saya terusik. Tiga tahun lalu, di rawa-rawa Florida bersama dengan segerombol mahasiswa entomologi yang tengah mengadakan ekspedisi koleksi serangga, sempat tersua kaktus dengan gumpalan putih serupa. Ketika itu, Dr. Williams, mentor kami yang juga ahli taksonomi serangga homoptera menantang untuk meremas gumpalan putih tadi di antara jemari. Ketika salah seorang meladeni tantangannya, cairan warna merah meletup keluar dari 'gumpalan kapas' di antara jemarinya. "Itu cochineal.", terang Dr. Williams pendek.
Cochineal adalah serangga dari ordo Homoptera dan super family Coccoidea. Serangga ini punya hubungan kekerabatan dekat dengan aphid. Seperti aphid, cochineal punya mulut yang teradaptasi untuk menusuk dan menghisap cairan tanaman. Hampir segera setelah lahir, cochineal betina menusukkan mulutnya ke kaktus dari genus Opuntia untuk kemudian makan dengan menghisap cairan kaktus. Menariknya, cochineal betina tidak memiliki kaki untuk berpindah diri. Sekali ia mencucukkan mulutnya ke kaktus, tak lagi ia berpindah tempat sampai mati. Dengan gaya hidup yang sedemikian, cochineal pun jadi sasaran empuk sebagai mangsa predator macam burung, kadal dan semut. Untuk mempertahankan diri dari predator cochineal memproduksi senyawa kimia bernama asam karminik. Rasa dan bau asam karminik membuat semut dan burung tak sudi mengunyah cochineal.
Asam karminik punya karakter unik lain yang meski tak menguntungkan buat cochineal, namun mengorbitkan serangga kecil ini ke galaksi perdagangan dunia. Asam karminik punya warna merah gemilang yang mampu mewarnai berbagai bahan tekstil. Sebelum cochineal ditemukan, warna merah pada tekstil di Eropa didapatkan menggunakan berbagai pewarna nabati. Sesemakan dari genus Rubia sudah sejak jaman Yunani purba jadi andalan pewarna merah di Eropa. Masalahnya, warna merah yang didapat dari tanaman Rubia tidaklah konsisten. Salah sedikit, warna yang didapat dari Rubia bisa melenceng ke oranye atau kuning. Lebih problematis lagi, warna merah dari Rubia dikenal cepat kusam atau pudar diterpa sinar matahari.
Di sisi lain, sudah sedari jaman Romawi dan Yunani purba, tekstil warna merah punya asosiasi dengan glamor dan keluarga kerajaan. Plini menulis bahwa senator-senator Yunani dan Romawi punya kebiasaan memakai jubah berwarna ungu, yang karena ketidak tepatan proses pewarnaan tekstil di masa itu mengacu ke kisaran antara warna ungu dan merah. Di masa pertengahan, warna merah diadopsi menjadi warna resmi Vatican oleh gereja Katolik. Warna merah juga jadi warna kebanggaan berbagai wangsa monarki Eropa. Dalam desain orisinalnya, berbagai kain yang dipakai untuk mendekorasi ruangan-ruangan istana Versailes di Perancis pun berwarna merah. Tekstil warna merah dikenal mahal karena langkanya pewarna tekstil yang mampu memberi warna merah cemerlang di masa itu. Sedemikian berharganya nya warna merah pada tekstil, sampai-sampai serikat kerja pewarna tekstil di beberapa kota Itali abad XII menetapkan hukuman mati buat anggota yang membocorkan rahasia pewarna dan proses pewarnaan tekstil merah ke serikat kota lain. Bahkan sampai hari ini, warna merah masih punya pamor tersendiri. Di gelarnya karpet merah di acara-acara penuh glamor macam penghargaan Oscar dan Emmy, misalnya, punya akar di kelangkaan pewarna tekstil warna merah sekian ratus tahun lalu.
Kembali ke San Diego, saya berjalan mendekat ke gerumbul kaktus di pintu keluar Old Town dan memijit salah satu gumpalan putih di salah satu permukaan kaktus tadi. Demi melihat cairan berwarna merah meletup dari gumpalan ini, saya pun tersenyum. Ini kali kedua kita bertemu, cochineal.
Ketika Hernan Cortes menaklukan Imperium Aztec, adalah emas dan logam berharga lain yang ia cari. Tanpa ia sadari, Cortes tengah tersandung ke salah satu komoditas dagang paling menguntungkan: cochineal. Cochineal sudah lama jadi pewarna merah buat kebudayaan Aztec. Produksi cochineal jadi salah satu mata pencaharian di masa itu. Serangga kecil ini sengaja di'ternak'kan di Oaxaca, salah satu kota Aztec, sebagaimana ulat sutra diternakkan di China purba.
Sepanjang empat ratus tahun setelah penaklukan Aztec, cochineal jadi produk eksport nomor dua, setelah perak, dari dunia baru ke Eropa. Warna merah cemerlang yang tak pudar oleh matahari dari serangga cochineal membuatnya menjadi hit instan di pasar Eropa. Cochineal dipasarkan di Eropa sebagai pelet kering dengan cairan merah di dalamnya. Pekerja dan pedagang pewarna di Eropa dan Asia pun menggaruk kepala melihat pewarna dari dunia baru ini: mereka tak tahu apakah pelet ini sebenarnya. Tanaman, serangga atau mineral? Spanyol menjaga rahasia cochineal dengan ketat selama dua ratus tahun, sampai di tahun 1777 botanis asal Perancis menyelundupkan sepotong kaktus opuntia dengan koloni serangga cochineal ke Santo Domingo dan menjual rahasia ini ke Perancis. Pemakaian cochineal sebagai pewarna merah pada tekstil baru menurun drastis dengan ditemukannya berbagai pewarna sintetis di pertengahan abad XIX.
Tak setiap hari kita bersua dengan sekeping sejarah manusia. Namun buat saya, serangga cochineal di tikungan jalan keluar dari Old Town San Diego ini terasa benar sebagai sekeping kecil dari puzzle besar bernama peradaban.
Area di ujung selatan negara bagian California yang berbatasan dengan Meksiko ini sudah berabad jadi rumah suku Indian Kumeyaay. Ekspedisi Eropa pertama menginjakkan kaki di San Diego di pertengahan abad XV, hanya beberapa dekade setelah Hernan Cortes menaklukan Imperium Aztec di Meksiko. Selama 300 tahun setelah itu, San Diego, atau San Miquel (nama yang pertama kali diberikan untuk San Diego), menjadi titik singgah bagi ekspedisi-ekspedisi dagang dan tambang buat Spanyol yang saat itu merajai Meksiko, California dan sebagian besar Amerika latin. Ketika Meksiko memerdekakan diri dari Spanyol, provinsi Alta California diciptakan sebagai bagian dari negara baru bernama Meksiko. Di sekitar waktu yang sama, penduduk San Diego mengajukan petisi untuk menjadikan San Diego satu kota tersendiri. Petisi ini disetujui dan kota San Diego pun muncul di peta untuk pertama kali. Pusat kota baru ini ditetapkan di kaki bukit Presidio, di rumah Gubernur, penjara dan lapangan besar tempat pasar reguler berada. Tiga puluh tahun berselang, California jatuh ke tangan Amerika Serikat dan pusat kota San Diego dipindahkan ke dekat pelabuhan untuk memfasilitasi upaya ekspor dan impor. Sampai sekarang, pusat kota lama San Diego masih terpreservasi dengan cukup baik. Dinas pertamanan (Park Service) Amerika Serikat membangun situs cagar sejarah untuk melindungi gedung-gedung tua yang sempat jadi saksi sejarah kota ini. "Old Town", demikian penduduk lokal menyebut situs cagar sejarah yang cukup banyak menyedot perhatian wisatawan ini.
Di hari ketiga di San Diego, salah seorang teman dari South Dakota mengajak saya untuk makan fish burrito di dekat kompleks Old Town. "Kebetulan," pikir saya. Saya memang sedang mencari-cari waktu untuk mengunjungi cagar sejarah ini. Setelah makan siang, kami berpisah jalan. Ia kembali ke konferensi sementara saya jalan-jalan mencuci mata di seputar Old Town. Sejam berlalu, dan saya pun memutuskan untuk kembali ke gedung konferensi.
Persis di tikungan keluar dari kompleks Old Town, mata saya terantuk ke segerumbul kaktus Opuntia di pinggir jalan. Beberapa gumpalan putih mirip kapas nampak tersangkut di permukaan kaktus tadi. Rasa penasaran saya terusik. Tiga tahun lalu, di rawa-rawa Florida bersama dengan segerombol mahasiswa entomologi yang tengah mengadakan ekspedisi koleksi serangga, sempat tersua kaktus dengan gumpalan putih serupa. Ketika itu, Dr. Williams, mentor kami yang juga ahli taksonomi serangga homoptera menantang untuk meremas gumpalan putih tadi di antara jemari. Ketika salah seorang meladeni tantangannya, cairan warna merah meletup keluar dari 'gumpalan kapas' di antara jemarinya. "Itu cochineal.", terang Dr. Williams pendek.
Cochineal adalah serangga dari ordo Homoptera dan super family Coccoidea. Serangga ini punya hubungan kekerabatan dekat dengan aphid. Seperti aphid, cochineal punya mulut yang teradaptasi untuk menusuk dan menghisap cairan tanaman. Hampir segera setelah lahir, cochineal betina menusukkan mulutnya ke kaktus dari genus Opuntia untuk kemudian makan dengan menghisap cairan kaktus. Menariknya, cochineal betina tidak memiliki kaki untuk berpindah diri. Sekali ia mencucukkan mulutnya ke kaktus, tak lagi ia berpindah tempat sampai mati. Dengan gaya hidup yang sedemikian, cochineal pun jadi sasaran empuk sebagai mangsa predator macam burung, kadal dan semut. Untuk mempertahankan diri dari predator cochineal memproduksi senyawa kimia bernama asam karminik. Rasa dan bau asam karminik membuat semut dan burung tak sudi mengunyah cochineal.
Asam karminik punya karakter unik lain yang meski tak menguntungkan buat cochineal, namun mengorbitkan serangga kecil ini ke galaksi perdagangan dunia. Asam karminik punya warna merah gemilang yang mampu mewarnai berbagai bahan tekstil. Sebelum cochineal ditemukan, warna merah pada tekstil di Eropa didapatkan menggunakan berbagai pewarna nabati. Sesemakan dari genus Rubia sudah sejak jaman Yunani purba jadi andalan pewarna merah di Eropa. Masalahnya, warna merah yang didapat dari tanaman Rubia tidaklah konsisten. Salah sedikit, warna yang didapat dari Rubia bisa melenceng ke oranye atau kuning. Lebih problematis lagi, warna merah dari Rubia dikenal cepat kusam atau pudar diterpa sinar matahari.
Di sisi lain, sudah sedari jaman Romawi dan Yunani purba, tekstil warna merah punya asosiasi dengan glamor dan keluarga kerajaan. Plini menulis bahwa senator-senator Yunani dan Romawi punya kebiasaan memakai jubah berwarna ungu, yang karena ketidak tepatan proses pewarnaan tekstil di masa itu mengacu ke kisaran antara warna ungu dan merah. Di masa pertengahan, warna merah diadopsi menjadi warna resmi Vatican oleh gereja Katolik. Warna merah juga jadi warna kebanggaan berbagai wangsa monarki Eropa. Dalam desain orisinalnya, berbagai kain yang dipakai untuk mendekorasi ruangan-ruangan istana Versailes di Perancis pun berwarna merah. Tekstil warna merah dikenal mahal karena langkanya pewarna tekstil yang mampu memberi warna merah cemerlang di masa itu. Sedemikian berharganya nya warna merah pada tekstil, sampai-sampai serikat kerja pewarna tekstil di beberapa kota Itali abad XII menetapkan hukuman mati buat anggota yang membocorkan rahasia pewarna dan proses pewarnaan tekstil merah ke serikat kota lain. Bahkan sampai hari ini, warna merah masih punya pamor tersendiri. Di gelarnya karpet merah di acara-acara penuh glamor macam penghargaan Oscar dan Emmy, misalnya, punya akar di kelangkaan pewarna tekstil warna merah sekian ratus tahun lalu.
Kembali ke San Diego, saya berjalan mendekat ke gerumbul kaktus di pintu keluar Old Town dan memijit salah satu gumpalan putih di salah satu permukaan kaktus tadi. Demi melihat cairan berwarna merah meletup dari gumpalan ini, saya pun tersenyum. Ini kali kedua kita bertemu, cochineal.
Ketika Hernan Cortes menaklukan Imperium Aztec, adalah emas dan logam berharga lain yang ia cari. Tanpa ia sadari, Cortes tengah tersandung ke salah satu komoditas dagang paling menguntungkan: cochineal. Cochineal sudah lama jadi pewarna merah buat kebudayaan Aztec. Produksi cochineal jadi salah satu mata pencaharian di masa itu. Serangga kecil ini sengaja di'ternak'kan di Oaxaca, salah satu kota Aztec, sebagaimana ulat sutra diternakkan di China purba.
Sepanjang empat ratus tahun setelah penaklukan Aztec, cochineal jadi produk eksport nomor dua, setelah perak, dari dunia baru ke Eropa. Warna merah cemerlang yang tak pudar oleh matahari dari serangga cochineal membuatnya menjadi hit instan di pasar Eropa. Cochineal dipasarkan di Eropa sebagai pelet kering dengan cairan merah di dalamnya. Pekerja dan pedagang pewarna di Eropa dan Asia pun menggaruk kepala melihat pewarna dari dunia baru ini: mereka tak tahu apakah pelet ini sebenarnya. Tanaman, serangga atau mineral? Spanyol menjaga rahasia cochineal dengan ketat selama dua ratus tahun, sampai di tahun 1777 botanis asal Perancis menyelundupkan sepotong kaktus opuntia dengan koloni serangga cochineal ke Santo Domingo dan menjual rahasia ini ke Perancis. Pemakaian cochineal sebagai pewarna merah pada tekstil baru menurun drastis dengan ditemukannya berbagai pewarna sintetis di pertengahan abad XIX.
Tak setiap hari kita bersua dengan sekeping sejarah manusia. Namun buat saya, serangga cochineal di tikungan jalan keluar dari Old Town San Diego ini terasa benar sebagai sekeping kecil dari puzzle besar bernama peradaban.
No comments:
Post a Comment