TRANSLATE THIS BLOG

Translate this page from Indonesian to the following language!

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Widget edited by Anang

Sunday, January 26, 2014

Multiplier Effect



“Teetttt... Teetttt...”
Jam pertama sekolah telah dimulai dan Donny dengan santainya memasuki ruangan bersama sahabat karibnya Ichsan. Mereka berdua kemana pun selalu bersama dari SD sampai sekarang. Mereka berdua merupakan sahabat karib yang tak terpisahkan.
“Don, gimana kabarnya Santi?”, tanya Ichsan dengan raut muka penasaran.
“Kabar gimana nih maksudnya? Aku sama Santi baik-baik aja kok. Tapi...”
Donny segera mencari tempat duduk paling belakang bersama Ichsan agar dapat saling bercerita. Meja paling belakang merupakan tempat paling aman untuk bercerita, menghindari pengawasan dari pengajar.
“Jangan bilang siapa-siapa ya San. Aku itu merasa kurang enak nih sama Santi. Rasanya pengen cari yang baru nih...”, bisik Donny.
“Eh apa-apaan kamu? Kan baru juga dua minggu pacaran, masak mau cari cewek baru? Apa yang kurang dari Santi sih? Dia baik, cantik, putih pula.”, gerutu Ichsan dengan nada kesal.
“Tapi dia pendek. Aku pengen cari yang lebih baik. Aku pengen cari yang tinggi aja deh. Aku pengen cari yang tingginya mirip sama aku.”, jawab Donny.
“Ah parah kamu Don. Aku ngikut aja deh. Yang penting sahabatku senang.”, jawab Ichsan sambil menepuk pundak Donny.
"Wuih, bijak benerrr... Sudah, perhatiin dulu tuh pelajarannya. Sekarang ekonomi ya??? Jadi males nih...", gerutu Donny.
"Ini penting lho, bab Multiplier Effect. Meskipun ini sederhana, ini bisa terjadi di kehidupan sehari-hari lho.", jelas Ichsan.
"Oke deh. Tapi aku gak percaya tuh...", balas Donny dengan ejekan.
***
“Hey Don!!!”, teriak Ichsan dari kejauhan.
Ichsan yang baru pulang dari bermain futsal bertemu Donny di warung soto Bu Lasmi. Raut muka Donny mendadak berubah menjadi cerah. Donny memang sudah menunggu sahabatnya itu untuk dia ajak bercerita.
“San, duduk sini deh. Aku mau ngomong sesuatu.”, seru Donny dengan senyum lebar.
“Ngomong apa sih Don pake sesuatu-sesuatu segala?”, jawab Ichsan sambil memutar matanya.
“Gini San, aku kemarin baru aja jadian sama Tika lho anak SMA sebelah. Dia itu udah sesuai dengan keinginanku nih, tinggi!”, jawab Donny dengan berseri-seri.
“Waduh! Gimana nasibnya Santi tuh? Kamu putus gitu aja?”
Ichsan pun memandang Donny dengan muka berkerut. Dia merasa agak kesal sebenarnya dengan kelakuan Donny yang terlalu ambisius dalam mendapatkan sosok pasangan hidup yang sempurna. Donny memang dianugerahi ketampanan sejak lahir serta berasal dari keluarga terpandang. Donny selalu berusaha mencari pasangan yang pantas dengan dirinya yang tampan dan hampir sempurna itu.
“Tenang San, Santi tetep jadi pacarku kok. Aku belum berani buat mutusin dia. Lagipula aku sebenarnya juga masih menyukainya.”, jawab Donny dengan santai.
“Dasar Donny!”
Semoga kamu segera sadar Don akan apa yang kamu lakukan, bisik Ichsan dalam hatinya.
***
Minggu ini Donny memutuskan menghabiskan pagi harinya dengan lari pagi. Dia berharap dapat menghilangkan segala penat yang dia rasakan selama seminggu terakhir. Apalagi dia harus berpikir keras agar Santi dan Tika tidak saling mengetahui, termasuk teman-teman mereka juga. Kali ini seperti biasa, dia mengajak Ichsan tentunya untuk lari bersama. Mereka merupakan sahabat yang cocok karena Donny yang suka bercerita dan cerewet mempunyai sahabat seperti Ichsan yang pendiam dan pendengar setia.
“San, aku pusing nih memikirkan mereka berdua.”, gerutu Donny kepada Ichsan.
“Mereka siapa? Santi sama Tika? Kamu sih pacar aja dua amat. Satu aja gak habis-habis.”
“Tapi San...”
Jawaban Donny pun terhenti saat melihat sosok perempuan yang melewati mereka berdua. Tampak perempuan itu berlari dengan riang bersama teman-temannya. Senyumnya yang manis menggoda hati Donny seketika itu juga.
“Eh San, kamu kenal gak cewek yang lewat tadi? Yang pakai baju biru tadi itu lho...”, tanya Donny penasaran.
“Oh dia itu Lina. Dia itu adek kelas kita. Dia itu anaknya cantik, manis, dan tinggi pula. Senyumnya itu sangat menawan hingga bisa meluluhkan hati. Matanya itu bisa menggetarkan langkah ketika ingin mendekatinya. Dan, sosoknya terasa begitu hangat serasa ingin bisa duduk ngobrol dengan dirinya.”, jelas Ichsan dengan panjang lebar.
“Wah begitu ya San. Keren banget ya dia.”, jawab Donny dengan senyuman khasnya.
***
“San!!!”, teriak Donny untuk memecah lamunan Ichsan.
“Iya, ada apa...”, jawab Ichsan dengan malas.
“Kamu kenapa San kok lemas begitu? Aku ada kabar baik nih!”, balas Donny dengan tawa yang kontras dengan kondisi Ichsan.
“Perempuan yang kusuka sekarang mengacuhkanku. Kabar baik apa Don?”, tanya Ichsan dengan malas.
“Sabar ya San... Gini lho! Aku udah jadian sama Lina lho... Sumpah! Aku seneng banget lebih dari saat aku jadian sama Santi dan Tika!”
“Lalu bagaimana dengan Santi dan Tika?”, tanya Ichsan dengan raut muka yang berbeda.
“Mereka tetep jadi pacarku lah... Hahaha”, tawa Donny.
***
"Dringgg..."
Donny kemudian membuka handphonenya. Pagi ini tidak seperti biasa, fajar belum menyingsing pun sudah ada sms masuk.
"Dasar kamu playboy kurang ajar! Kita putus!", sms dari Santi.
"Dringgg..."
"Dasar kamu tak tahu malu! Gak punya hati! Kita putus!", sms dari Tika.
Donny pun bingung mengapa kedua pacarnya tersebut tiba-tiba memutuskan hubungan dengan dirinya.
"Dringgg..."
"Sayang, nanti siang kita jalan yuk ke Taman Hijau. Aku udah kangen banget nih gak lihat wajahmu yang tampan. Besok, aku mau ngasih hadiah spesial buat kekasihku tersayang nih. Datang ya, muacchh.", sms dari Lina.
Di saat kesal melanda hatinya, Donny pun terhibur dengan sms dari pacar barunya tersebut. Segala hal tentang Santi dan Tika pun dia lupakan dengan mudahnya, tidak peduli dengan perasaan mereka. Donny telah merasa menemukan teman hidupnya yang sebenarnya.
***
"Donny sayang!!!", teriak Lina dari kejauhan.
"Iya Lina sayang, jangan teriak-teriak gitu dong. Aku jadi agak malu nih... Eh, mau ngasih hadiah apa nih?", tanya Donny penasaran.
"Aku mau... Mencium pipi kamu... Boleh gak? Akhir-akhir ini aku selalu memikirkanmu. Aku terlalu jatuh cinta sama kamu. Aku berharap dengan mencium pipimu, kita gak akan pernah terpisahkan lagi.", ucap Lina dengan hati-hati.
"Ya tentunya boleh dong! Jadi gak enak nih, eh maksudnya jadi enak nih... hehehe...", canda Donny.
"Tutup mata dulu dong... Aku malu nih kalau mau mencium sayang tapi dilihatin.", rengek Lina.
Segera Donny dengan senangnya menutup matanya. Dia sangat senang bisa mendapatkan Lina sebagai kekasihnya. Dia benar-benar jatuh cinta kepadanya. Dia...
"Bruukkk!!!"
Muka Donny tiba-tiba terkena tepung dan telur mentah dalam jumlah besar. Tidak hanya muka, bahkan seluruh badan Donny kotor dan berbau amis. Lalu, tiba-tiba ada seseorang yang datang kepadanya dan mengalunginya dengan papan bertuliskan AKU PLAYBOY KAMPUNGAN YANG TAK TAHU DIRI.
Donny tidak dapat melihat jelas siapa orang itu. Apa mungkin itu Lina? Atau mungkin Tika dan Santi yang marah?
Lalu seseorang itu kembali padanya.
"Dasar kamu sahabat tak tahu diri, tidak mengerti keadaan sahabatmu yang dari dulu sering membantumu."
Itu jelas sekali suara Ichsan. Ichsan, mengapa dia begitu? Donny terlalu pusing dan ketika ada telur yang menghinggapi tubuhnya lagi, dia tersadar...
---Oh dia itu Lina. Dia itu adek kelas kita. Dia itu anaknya cantik, manis, dan tinggi pula. Senyumnya itu sangat menawan hingga bisa meluluhkan hati. Matanya itu bisa menggetarkan langkah ketika ingin mendekatinya. Dan, sosoknya terasa begitu hangat serasa ingin bisa duduk ngobrol dengan dirinya.---
---Perempuan yang kusuka sekarang mengacuhkanku---
Donny baru tersadar bahwa Ichsan sebenarnya menyukai Lina. Dia tidak tahu kalau ternyata kebiasaannya mencari wanita telah mengorbankan sahabatnya sendiri. Apa jangan-jangan semua ini ulah Ichsan?
Mungkin ini yang dinamakan multiplier effect, suatu hal yang terjadi tidak akan semata-mata terhenti saat itu juga. Hal itu akan memberikan efek terhadap hal lain yang bisa saja berdampak lebih besar pada sumbernya.

Awan



Rintik hujan di luar terdengar begitu sendu dengan temaram lampu kamar yang tidak begitu terang. Suasana sepi membuat pikiran meracau untuk mencari hiburan di luar. Akan tetapi tubuh ini terlalu capai untuk keluar, berharap akan ada hiburan yang datang. Tiada henti-hentinya diriku menengok handphone jadul ini dan berharap akan ada sms masuk, terutama sms dari Awan yang tak kunjung datang.
“Dring…”
Segera aku ambil handphoneku dengan cepat yang sedari tadi menganggur di samping kasurku. Dengan cermat, diriku membaca sms tersebut. Setiap kata yang terbaca, aku maknai dengan dalam. Tetapi nyatanya, sms itu datangnya dari operator yang kian menambah kesedihanku. Aku kembali membaringkan badanku ke kasur yang setia menemani kegundahan malam-malamku selama lima tahun terakhir.
“Ting tung ting ting…” Tanpa melihat layar handphoneku, aku yakin kalau kali ini Awan yang menelponku, orang yang kabarnya selalu kunantikan.
“Wan, kamu tahu gak sih aku tuh sedih kamu cuekin terus seharian. Kemana aja sih kamu?”, tanyaku dengan cepat.
Kupeluk bantalku sambil berceloteh, berharap dia akan kesal denganku dan menunjukkan ekspresi imutnya meskipun hanya lewat suara.
“Aduh, Nada.. Apa-apaan sih? Ini Mama, bukan Awan. Mama cuman mau ngasih tahu kalau nanti mama sama papa mau pergi keluar kota selama tiga hari. Jangan lupa rumahnya dibersihkan setiap hari ya sayang.”
Mendengar suara yang jauh dari harapan tersebut membuat diriku kecewa. Aku merasa semakin sepi dengan kesendirianku di rumah yang sederhana ini.
“Iya Ma. Jangan lupa oleh-olehnya ya. Hati-hati di jalan Ma.”, jawabku dengan nada data.
Aku akhiri percakapan ini dengan membalikkan badanku, berharap aku akan tertidur pulas.
“Dimana kamu Awanku? Mengapa sekarang kamu menjadi mendung yang selalu membuatku sedih?”
***
Suara burung yang bersahutan, semilir angin segar, dan rimbun hijau pepohonan dengan ramah ikut mengantarku ke sekolah. Setelah sampai di depan gerbang SMA Negeri Sederhana, aku segera memasuki kelas XII-IPA 3. Di tengah suasana riuh kelas, tiba-tiba aku melihat guruku datang dengan seorang pemuda asing.
“Eh Indah, siapa tuh cowok? Anaknya Bu Risni ya?” Aku berbisik-bisik dengan teman semejaku sambil terus mengamati setiap gerik-gerik pemuda tersebut.
Bu Risni kemudian masuk dan berdiri di depan kelas ditemani oleh pemuda tersebut.
“Anak-anak, ini ada siswa baru pindahan dari Tempelan.”
“Perkenalkan nama saya Awan, saya cowok tulen, sudah?”, jawabnya dengan senyuman lebar.
Kata-kata Awan barusan membuat seluruh kelas, termasuk aku, tertawa terbahak-bahak. Postur tubuhnya yang sedang dan pipinya yang tembem, membuat setiap tingkahnya semakin lucu.
Awan akhirnya mendapatkan tempat duduk di sebelah mejaku. Aku yang terkesan dengan selera humornya tanpa sadar berbuat hal yang memalukan.
“Hai Awan, namaku Nada. Sumpah, tadi kamu lucu banget!”
Seketika diriku sadar jika aku seperti gadis lajang yang suka memperkenalkan diri, memang aku lajang, tetapi…
***
Semakin hari rasanya aku dan Awan semakin dekat. Aku yang tadinya selalu berangkat sekolah lewat Jalan Kamboja, sekarang berpindah jalur ke Jalan Mawar agar bisa berangkat bersama Awan yang rumahnya tidak jauh dari rumahku. Aku suka saat dia segera menghampiriku di saat aku melewati rumahnya. Aku suka dengan senyuman lebarnya yang menandakan betapa senangnya dia melihatku. Aku suka dengan gayanya yang lucu, pipinya yang tembem, dan matanya yang bulat. Aku suka bagaimana dia perhatian padaku, bagaimana tingkahnya saat dia merasa malu padaku, dan pandangan sedihnya di saat aku merasa kesulitan. Aku merasa…
“Dring…”
Bunyi sms masuk menghancurkan lamunanku. Aku baru sadar kalau aku harus segera pergi ke sekolah untuk mendekorasi panggung acara wisuda. Aku merasa sangat senang karena angkatanku berhasil lulus dari Ujian Nasional yang mengerikan.
Sesaat aku melangkahkan kaki di depan rumahku, aku merasa ada linangan air mata yang menggantung, mengalir pelan di pipiku. Entah mengapa, aku merasa sangat sedih ketika melewati Jalan Mawar. Aku merasa sesak, terasa ada gumpalan emosi yang memenuhi rongga dadaku. Aku takut kehilangan Awan. Seseorang yang baru kukenal setahun namun sangat berarti dalam hidupku. Meskipun kami sepakat tidak akan pacaran, akan tetapi bukan itu yang membuatku sedih. Terendap rasa takut dalam setiap langkah ini.
“Nada, ayo cepat ke sini! Aku butuh bantuanmu sekarang.”
Indah yang merupakan sahabat karibku segera menarikku untuk mendekorasi panggung. Aku yakin akan ada hari yang lebih indah setelah acara wisuda nantinya.
***
Seharian aku duduk di depan komputerku, berharap akan ada berita bahwa pengumuman SBMPTN telah dipublikasikan. Waktu demi waktu kuhabiskan dengan mengawasi Facebook dan memakan cemilan yang berserakan di sekitar meja komputerku. Perasaan gelisah dan khawatir memaksaku untuk memakan segala jenis makanan yang ada, mengacuhkan program dietku yang sudah berjalan selama tiga bulan.
“Ting tung ting ting…” Segera kuambil handphoneku dan kulihat ada nama Awan di layar handphoneku.
“Assalamu’alaikum… Apa apaan nih tiba-tiba nelpon? Kangen aku ya?”
Kulirik jam dinding yang menunjukkan pukul lima sore sambil meringis akan kata-kataku barusan.
“Wa’alaikumsalam... Iya nih kangen, sudah tiga hari kita gak ketemuan. Kamu belum jadi beruang kan?”
Terdengar tawa kecil Awan dari handphoneku. Tanpa dia sadari, sebenarnya selama tiga hari tersebut aku merasa sangat gelisah memikirkannya. Bagaimana jika nanti kami tidak satu universitas, bagaimana jika nanti kami jarang berjumpa, dan bagaimana jika nanti kami semakin renggang. Laki-laki memang makhluk yang paling tidak sensitif dan berpikiran pendek!
“Halo… Nada, kenapa kok bisik-bisik? Aku gak denger nih.” Suara kebingungannya yang lucu kembali mengembangkan senyumanku.
“Ih pengen tahu aja nih. Makanya jangan di rumah aja, sesekali main ke rumahku dong”
Awan memang seorang anak rumahan. Dia tidak pernah bermain jauh dari rumahnya kecuali untuk sekolah.
“Ah nggak mau ah” Sesaat pembicaraan berhenti sejenak.
 “Aku takut nih sama mama kamu. Eh, pengumuman SBMPTN sudah terbit lho, coba deh buka websitenya. Aku akhirnya berhasil masuk jurusan Teknik Geologi ITB nih. Kamu gimana? Masuk ITB juga kan?”
Segera kubuka website SBMPTN dan memasukkan identitas diriku.
Nada Lily Sukmawati – FMIPA-Matematika Murni – UGM
Rasa sedih pun tak terbendungkan. Segera kubuang handphoneku dan menangis di balik bantal. Aku sedih karena gagal masuk jurusan Teknik Kimia ITB. Aku sedih tidak bisa bersama Awan pergi keluar melintasi Yogyakarta, tempatku dan Awan tinggal. Aku mengutuk diriku sendiri yang gagal lolos SBMPTN di pilihan pertama. Aku mengutuk diriku yang bermalas-malasan saat belajar. Aku mengutuk diriku yang terlalu mencintai Awan, yang membuatku tidak mampu jauh darinya.
***
Pagi ini tidak secerah pagi sebelumnya. Mungkin bagi orang lain sama saja, namun tidak bagiku. Hari ini aku akan pergi ke Taman Mawar Merah. Sesuai dengan namanya, taman yang berada di Jalan Mawar tersebut ditumbuhi banyak tanaman mawar merah. Aku memakai kaos merah muda dengan kardigan abu-abu pemberian Awan. Jeans biru dan sneakers abu-abu menyempurnakan penampilanku saat ini. Aku telah menyiapkan diriku sesempurna mungkin. Kupasang senyuman terindahku sambil melangkah menuju taman tersebut.
Hari ini Awan tidak berpakaian seperti biasanya. Kali ini dia menggunakan kemeja biru tua kasual dan jeans hitam. Ditambah dengan sepatu Kickers coklat gelap yang membuat dirinya menjadi lebih tampan daripada biasanya. Rambutnya yang biasanya berantakan, sekarang terlihat rapi. Kulihat wajahnya yang berpendar cahaya hangat, terasa ada sengatan cinta yang lebih kuat. Senyumnya yang khas dengan wajah bulatnya yang lucu membuat diriku benci pada kenyataan ini.
Hari ini merupakan hari terakhir Awan di sini, sebelum akhirnya dia harus pergi ke Bandung untuk kuliah. Kami terus berbicara ini dan itu sambil tertawa. Kami tidak ingin merusak hari ini dengan kesedihan. Akan tetapi, aku harus mengutarakan isi hatiku sebelum aku kehilangan kesempatan itu. Sudah tidak ada waktu lagi untuk menunda.
“Wan, aku mau ngomong sesuatu nih sama kamu.” Aku remas dengan erat tas yang aku bawa. Aku merasa sangat gugup untuk mengatakan hal seperti ini.
“Kenapa Na? Ngomong saja, kayak orang gak kenal saja.” Wajah innocent Awan semakin membuatku bingung bagaimana mengucapkannya. Aku sungguh bingung. Aku lihat sekitar taman ini, berharap ada ide yang keluar dan…
“Begini, aku mau cerita. Ada orang namanya A dan B. Mereka itu sangat dekat dan mereka suka satu sama lain meskipun nggak pacaran. Si A ini merasa takut karena si B akan pergi ke tempat yang jauh. Dalam hati si A, dia ingin membuat janji dengan B. A ingin kedua belah pihak selalu memberikan kabar agar hubungan mereka tetap jelas. Apabila ada salah satu pihak yang kemudian suka dengan orang lain, maka dia harus memberitahu pihak satunya agar tidak terjadi penantian yang sia-sia. Menurut kamu Wan, si B itu mau gak ya janji seperti itu?”, tanyaku sambil memperhatikan wajah Awan.
“Tentu saja si B mau. Si B bakalan sms dan telpon si A terus setiap hari. Si B tidak mungkin bisa meninggalkan si A tanpa tahu kabar apapun tentangnya. Si B pasti akan sangat takut jika terjadi sesuatu dengan si A… Nada, aku gak mau kehilangan kamu...”
Awan kemudian menatapku dengan dalam, matanya yang jernih dan wajahnya yang lucu membuatku selalu ingin memeluknya. Tidak pernah aku merasa sangat sedih seperti ini, ditinggalkan oleh kekasih hati. Ingin rasanya waktu sejenak berhenti,. Bersama di taman ini, saling bercerita tiada henti. Merasakan hangat senyumnya yang meneduhkan hati, seakan semua masalah ini tidak pernah ada. Aku pasti akan selalu merindukannya…
***
Tidak terasa hari ini sudah memasuki hari pertama di bulan Desember. Musim hujan membuat hari-hariku semakin bertambah kelam. Setiap aku menatap langit, sudah tidak ada lagi gumpalan awan yang menghias langit dengan warna putih sucinya. Awan telah tergantikan oleh mendung yang gelap dan kelam, seakan pembawa berita buruk dari langit.
Sudah seminggu Awan tidak memberi kabar. Seminggu yang lalu Awan berpesan bahwa dia akan menonaktifkan handphonenya sementara karena akan ada ujian tengah semester. Hidup terasa begitu hambar. Sudah lama aku tidak melihat senyumnya yang menggemaskan dan perhatian ringannya yang menghibur. Meskipun sebenarnya dia agak kaku, dia merupakan orang terlucu yang pernah aku kenal sekaligus pisau yang siap menikam hatiku kapan saja.
“Dring… Dring… Dring…” Tiba-tiba saja ada tiga sms yang masuk bersamaan. Perasaan aneh tiba-tiba saja muncul dari benakku. Aku baca satu per satu dari setiap sms yang masuk. Sms tersebut berasal dari nomor yang tidak dikenal. Pengirim sms tersebut seakan sudah mengetahui siapa aku meskipun aku belum pernah mengenalnya.
“Halo Nada, aku Rizky. Aku cuman pengen kenal kamu saja. Tapi aku sudah cukup tahu kok tentang kamu, paling kamunya saja yang belum kenal sama aku.”
Sms yang cukup mencurigakan bagiku. Rasanya seperti ada yang ingin mencoba mengerjaiku akan tetapi ulang tahunku sudah lewat. Aku tanggapi saja setiap sms yang dia kirim secukupnya.
“Oh iya aku lupa. Aku itu sahabatnya Awan, aku tahu kamu karena aku orangnya suka penasaran. Aku suka mencari tahu apa saja mengenai orang itu dengan banyak cara. Bisa dibilang kepo kalau bahasa gaulnya.”
Sms ini membuatku sangat terkejut. Aku tidak menyangka bahwa malah sahabatnya Awan yang menghubungi aku. Aku yang sudah sangat merindukan Awan pun segera menanyakan kabarnya.
“Rizky, gimana kabarnya Awan?”
Secepat kilat kuketik tombol handphoneku. Kutunggu dengan rasa penuh penasaran akan kabarnya.
“Ohhh, si Awan baik-baik saja kok. Kemarin dia sempat frustasi karena kesalahan kecilnya. Aku kasihan dengan dirinya yang depresi karena masalah kecil waktu ujian. Aku sangat sedih akan keadaannya kemarin. Tapi tenang, sekarang keadaannya sudah membaik.”
Aku pun hanya bisa bernapas lega akan keadaannya yang sudah membaik, meskipun aku sesungguhnya sangat khawatir dengan keadaannya sekarang.
Tiba-tiba saja ayahku masuk dari balik pintu, masuk kedalam kamarku yang sangat sederhana. Beliau mengajakku untuk pergi ke Sleman untuk berkunjung dengan teman dekatnya.
“Rizky, udahan dulu ya. Ayahku  ngajak pergi nih.”
Sebenarnya dalam hati aku masih ingin bertanya mengenai Awan lebih jauh. Aku ingin tahu bagaimana dia sekarang, apakah baik-baik saja, apakah dia pernah terkena masalah berat, dan kapan ujian yang mengganggu komunikasi kami berakhir.
***
Semakin hari komunikasi antara Rizky denganku semakin akrab. Kami sudah seperti teman sendiri yang mempunyai hobi sama, yaitu bercerita panjang lebar. Aku bahkan sampai tahu kapan saja dia tidur, yaitu sekitar menjelang dini hari sampai pukul lima pagi. Dia tidak akan pernah tidur siang kecuali bila dia merasa sangat capai. Kebiasaannya tersebut sangatlah berbeda dengan Awan yang sepanjang waktu luangnya dia gunakan untuk tidur dan tidur. Aku sendiri pun sering kesal dengan kebiasaannya karena kebiasaannya tersebut membuatku sulit menghubunginya, terutama jika aku merasa kesepian dan rindu akan celoteh lucunya.
Sore hari yang sepi ini membuatku merasa sangat jenuh. Sudah seharian semua hal yang aku lakukan sepertinya tidak ada yang berjalan dengan baik. Aku membutuh kabar dari Awan sekarang, meskipun itu berarti aku harus menghubungi Rizky. Kali ini aku akan menghubunginya langsung lewat telepon.
“Assalamualaikum Rizky…” Ku buka pembicaraan ini dengan hati-hati. Baru pertama ini aku menelepon Rizky.
“Emmttt.. Wa’alaikumsalam… Kenapa?”, jawab Rizky samar-samar.
Terdengar suara Rizky yang menandakan kalau dia baru saja terbangun. Kemungkinan dia sudah sepenuhnya sadar sangatlah kecil.
“Rizky tahu gak Awan sekarang lagi ngapain?”
Aku sudah sangat penasaran dengan kabar seseorang yang aku cintai itu. Meskipun jarak memisahkan, sampai sekarang aku belum pernah merasa bahwa rasa cinta ini akan berkurang. Mengingat kenanganku saat bersamanya dulu, bagiku itu sudah lebih dari cukup. Berharap dia segera kembali ke sini, berjalan bersama di Jalan Mawar, berbicara bersama di Taman Mawar Merah, semua itu tidak pernah luput dalam setiap harapanku. Aku tahu aku terlihat bodoh, namun semua itu karena aku mencintainya. Mencintai orang yang mungkin memang sudah tepat bagiku.
“Hey, Rizky. Jangan tidur lagi. Awan lagi ngapain ini?”, kunaikkan nada bicaraku.
Aku segera mengulangi perkataanku karena aku takut kalau Rizky kembali tidur.
“Ini siapa ya?”
Sungguh keterlaluan, ternyata dia mengangkat tanpa melihat siapa yang menelponnya. Jika aku disana…
“Emmttt Awan tadi keluar ke Dago, dia lagi jalan sama Dina. Kalau mau datang cari dia, nanti malam saja. Aku mau tidur lagi. Bye.”
Buyar sudah semua lamunan manisku. Dada ini terasa sangat sesak dan sakit seperti ada kerikil yang memenuhi rongga dadaku. Aku berharap ini hanyalah sebuah ilusi suara. Akan tetapi dengan jelas suara tersebut terdengar, jelas bukan sebuah ilusi. Aku tidak percaya. Aku menghabiskan semua waktuku hanya untuk orang yang tidak mencintaiku lagi. Sungguh aku tidak akan menangisinya, aku tidak akan menangisinya! Aku tidak akan menangisinya!
“Aku gak akan sedih karena kamu Awan!!!", teriakku sekencang-kencangnya.
Langit-langit terlihat roboh dan semua menjadi gelap.
“Nada!!!”, terdengar suara dari balik pintu.
***
Aku sungguh kagum akan perasaanku sendiri. Begitu sakit luka yang tertoreh dalam hatiku, namun kuabaikan. Begitu pahit kenyataan yang kuterima, namun kubertahan.
Hari ini aku kembali dengan kicau burung yang terdengar riang, dengan sepoi angin yang lembut, serta rimbun pepohonan yang meneduhkan. Aku kembali melewati Jalan Mawar. Jalan yang menjadi saksi kenangan indahku bersama Awan. Jalan yang melihat betapa bahagianya diriku saat berjalan menuju ke rumah Awan. Jalan yang merasakan setiap getaran gairah saat diriku melihat senyuman Awan yang manis. Jalan yang menjadi penghubung bagi rasa rinduku untuk melepas rasa haus akan perhatian.
 Hari ini aku kembali mengitari Taman Mawar Merah. Taman yang setia menjadi pendengar saat aku dan Awan saling berdebat. Taman yang menjadi tujuan saat kami tak tahu mau kemana. Taman yang menjadi tempatku melepaskan rindu akan senyumnya, wajahnya, dan tingkah lucunya.
Aku masih disini. Aku masih mengharapkan langit kembali cerah. Mendung yang kelam itu berganti menjadi awan yang bersih, awan yang mampu menghiasi hari-hariku. Awan yang selalu kunantikan kedatangannya untuk meneduhkan hatiku. Tak akan kucabut rasa yang telah kugantung tinggi di awan putih.
Awan, aku masih di sini menunggumu…
*****

Saturday, January 11, 2014

I'm Nobody



Falling to darkness
Crying for thy sin
Spectre feels staring
My lonely weeping
Clouds are gathering
For nobody and me
I'm nobody

I don't... I won't...
But I can't...
Waiting my sweetest
Sitting with her knife
Then blinking with nothing
And the knife's still smiling
For nobody and me
I'm nobody

Fire feels cold
And water gives thirst
Immortal instrument's still crying
For nobody and me
I'm nobody

Me, myself, and I
Singing the blues
For the sadness
For the loneliness
For the senselessness
Where I lie onto the thorn
Holding thy grey memories
For nobody and me
I'm nobody




Jangan lupa komentar membangunnya ya~ :)

Wednesday, January 1, 2014

Aku

Biarlah Aku sendiri...
Lupakanlah keberadaanku selama ini dari dunia pandang kalian...
Ini bukanlah puisi atau sajak...
Ini adalah torehan seorang dungu...
Yang tak akan peduli, pada siapapun dia...
Biarlah kumemakan dagingku untuk hidupku...
Keringatku untuk hausku...
Dan jantungku untuk matiku...
Hilangkanlah diriku dari bayangan kalian...
Aku tak ada dan tak berada...
Aku tak usah kau lirik, apalagi pandang...
Terlalu hina untuk dipandang, terlalu sampah untuk dipungut...
Membusuk pun tiada berguna bagi pembusuk...
Tidak perlu kau berkasihan...
Akulah yang harus menghilang, atau memang sudah terbuang...
Tidak butuh rasa kasih palsu, iba karena sungkan tuk melihat...
Biarlah Aku ini, hanyut dalam lumpur berkumpulnya para hina, lenyap dengan hina...