TRANSLATE THIS BLOG

Translate this page from Indonesian to the following language!

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Widget edited by Anang

Sunday, May 27, 2012

Moment Kelulusan SMA N 2 Sragen 2011/2012

Menunggu untuk LULUS tentulah hal yang membosankan! Deg-Deg an tentu bukan hal yang menyenangkan bila berlarut-larut. Pengumuman Kelulusan SMA N 2 Sragen yang ditetapkan pada tanggal 26 Mei 2012 pukul 15.00 WIB terlalu membosankan jika dihabiskan dengan menunggu dan menunggu di depan sekolahan. Oleh karena yakin 100% LULUS maka kami pun saling menebar tanda tangan kami dengan mencoret baju OSIS kami. Akan tetapi karena aku datangnya telat(terlambat), lihat aja tuh di foto, bajuku tanpak lebih bersih daripada temanku yang lain (maklum telat 2 jam ^^v ). Aku pun yang termasuk dalam kategori Most Wanted karena dikenal pendiam dan di anggap tak mungkin rela menyerahkan bajunya untuk dicorat-coret menjadi serbuan karena kaget saja mereka aku kok mau di corat-coret. Tentu saja itu sudah aku rencanakan karena aku punya baju double, jadi saat wisuda memakai baju OSIS dan almamater tetap terlihat bersih ^^v. Aka tetapi namanya juga anak alim, aku hanya mengizinkan bajuku di tanda tangani saja, No Pilog! (bener gak tulisannya pilog gitu ^^v) Ya maklum saja aku kalau membayangkan disemprot pilog itu jadi kayak Final Destination. Waktu nyemprot kena mata, trus mengahasilkan reaksi korosi yang hebat trus matanya tinggal setengah coz pupilnya udah meleleh gitu,, hiiiiiii. Tapi waktu tanda tangan terjadi pencopetan spidol karena beli spidol 2 kok hilang semua,hahahaha. Sehabis tanda tangan semua, kemudian dilanjutlkan acara makan2 di Moen-Moen dan dibayari sama Lestari temen sekelasku di XII IPA 4 2011/2012 lhoo.. Baik amat dia semoga jadi Bidan laris lahh, Bidan Delima atau Jambu atau Manggis terserah yang penting The Best lahh hahaha... SEMOGA SEMUA KENANGAN SELAMA DI SMA TIDAK PUDAR DAN BISA DIKENANG SELALU AMIN :)

THANKS FOR THE MOMENT WE'VE BEEN DONE :) SEMOGA KITA MENJADI ORANG SUKSES YANG DAPAT MEMPERBAIKI BANGSA INI MENJADI LEBIH BAIK AMIN :)

Saturday, May 26, 2012

Detik-Detik Pengumuman Lulus

Tentunya kita tahu bahwa pengumuman kelulusan akan segera diumumkan... Bagi mereka yang optimis LULUS, sebelum pengumuman dilaksanakan pun mereka sudah melakukan pawai meskipun belum seramai jika seandainya sudah di umumkan.. Akan tetapi hal tersebut menunjukan antusias dan optimistis yang tinggi dari siswa SMA terutama SMA N SRAGEN dan SMK SRAGEN dimanapun itu :D
Pawai tentu tidak harus monoton. Contohnya saja SMA N 1 Sragen berencana pawai dengan bersepeda dan memakai baju batik. Sedangkan SMA N 2 Sragen khusunya kelas saya saja XII IPA 4 berencana konvoi dengan jalan kaki dan booking rumah makan untuk merayakannya :D
Tentunya masih banyak lagi macam pawai yang akan di lakukan di tiap-tiap daerah. Yang pasti kita harus yakin KITA LULUS! SEMANGAT!

Thursday, May 24, 2012

Pengumuman UN SMA tahun 2012

Menurut berbagai sumber, pengumuman akan dilaksanakan pada tanggal 24 Mei 2012. Tapi sayang karena adanya pasang surut informasi, ada kesalahpahaman mengenai waktu. Ada yang bilang kalau pengumumannya pukul 14.00 WIB akan tetapi hal itu tidak terbukti sampai detik ini.. Kemudian ada yang bilang pada pukul 18.00WIB nanti dan kita belum tahu kebenarannya karena ini masih pukul 14.15WIB. Akan tetapi menurut berbagai artikel yang tersebar di Internet. Pengumuman tersebut sudah pasti dilaksanakan pada 26 Mei 2012 dan pada tanggal itu juga semua sudah clear.. Yah semoga saja waktu tidak diulur-ulur dan semuanya dapat LULUS dengan nilai yang Maksimal.. Aamiinn.. :)


Jangan lupa Follow @ALCsays dan @OMELANKU ya :)
Tetap setia mengunjungi blogku ini yang fun n freak ini :D

Wednesday, May 16, 2012

Aku, Kamu, dan Jogja


Oleh : Aditya Riskian the @ALCsays n @OMELANKU
Cuaca hari ini cukup panas sehingga membuat suasana menjadi gerah. Bus tanpa ac yang disewa oleh Dedi dengan uang dari iuran teman-teman sekelas mengantar kami menuju Yogyakarta. Riuh canda tetap menghiasi bis Jaya Muda ini.
“Eh, Yoga. Bawa uang berapa lo?” tanya Doni yang seketika itu pindah ke tempat duduk di sebelah Yoga. Sambil merogoh Chitato yang dibawanya dari rumah itu, dia menunggu jawaban Yoga.
“Ah, cuman sejuta nih. Kata nyokap gue, gue nggak usah beli oleh-oleh.” Sambil memilih lagu-lagu di I-podnya, dia tetap memperhatikan keberadaan Doni. “Gue pikir sih, itu cuman alesan aja. Nyokap takut uangnya cuman gue gunain buat hura-hura doang. Padahalkan gue juga pengen ngasih oleh-oleh buat nyokap.”
Doni yang selalu menghabiskan waktunya untuk makan itu kemudian mengamati jendela. Gue rasa dia mulai merasa kenyang setelah menghabiskan jajanannya. “Hey lo, ngapain ngeliatin jendela. Ngelamun aja lo!” Ternyata tebakan gue benar kalau Doni lagi melamun.
“Begini Ga, gimana sih perasaan lo sebenarnya?” Raut muka Doni yang mulai serius ini cukup membuatku muak. “Apa sih Don maksud lo? Gue nggak ngerti maksud lo. Yang jelas dong kalo ngomong.” Gue yang nggak ngerti maksud Doni mulai jadi penasaran. Gue rasa sudah cukup lama dia nggak pernah ngomong serius kayak gini sebelumnya. Apa ada setan yang masuk ke tubuh gempalnya ya?Ah, emang gue pikirin.
“Nggak usah sok bego deh. Gimana hubungan lo dengan Fany? Lo kan udah berharap banget tuh sama dia. Nggak mau nembak lo? Mumpung lagi piknik nih.” Sontak diriku pun tersendak oleh pertanyaan Doni. Kenapa gue nggak kepikiran tentang hal itu ya? Gue kan udah lama naksir dia, meskipun dia udah ada yang punya. “Gue bimbang nih Don. Gue rasa dia nggak bakalan nerima gue. Gue pesimis nih.” Pikiran yang jelek kayak gini selalu aja ngganggu gue. Ngebuat gue jadi nggak bisa berani buat ungkapin perasaanku.
“Lebay lu Don, emangnya dia pernah nolak lo? Nggak kan? Waktu elo PDKT sama dia, dia juga nggak nolak tuh. Coba aja! Yoga yang gue kenal itu nggak seperti ini orangnya.” Nasihat yang dirasukkan oleh Doni ke gue cukup ngasih secercah harapan. Harapan kecil. Waktu gue mengalihkan pandangan, mataku langsung menangkap sosok manis yang selama ini selalu memenuhi sudut pikiranku. Ah, apa sih, lebay deh.
“Hey, liatin apa sih lo. Kayak orang kesambet setan aja. Oo, liatin si Fany ternyata. Gue panggilin ya. Fa..” Seketika itu juga gue bungkam mulut lebar Doni. Hampir aja gue dibuat malu. Waduh, si Fany tau tuh kalo tadi dipanggil Doni.
“Ada apa Ga? Kayaknya tadi lo manggil gue?” Uhh, suara lembutnya seakan membawa gue terbang naik paus akrobatis menuju rasi bintang paling manis. “Mmm, nggak kok.. Tadi nih si Doni iseng manggil lo” Jawab gue sambil gugup. Jantung gue rasanya mau lepas, kepala rasanya cenat cenut, dan kaki nggak bisa berhenti meloncat-loncat. Rasanya gue nggak pernah mau deh fany balik ke kursinya lagi. Ah, jahat banget sih lo Ga, dia kan cewek, masak lo suruh dia berdiri terus.
“Halah, kok nama gue disangkut-sangkutin sih. Kan elo Ga yang tadi manggil dia. Katanya lo mau ngomong hal penting ke dia.” Jawaban Doni tuh rasanya mau bikin gue pukul bibir monyongnya, tapi sih dari dalam hati mini gue, gue seneng juga.
“Mau ngomong apa Ga?” suara lembut Fany mengawali pembicaraan dengan hangatnya. Tapi gue kasihan liat dia berdiri terus dari tadi. “Eh Don, minggir sana. Kasian tuh Fany berdiri terus.” Haha, sorry ya sob, gue lagi butuh kursi lo nih.
“Giliran senengnya aja, gue langsung dibuang. Tapi nggak apalah, buat sahabat gue satu nih.” Doni yang kemudian pindah ke kursi depan sempat berkedip member isyarat untuk melakukan semua dengan lancer. Tenang sob, gue nggak bakal kecewain lo.
“Jadi, mau ngomong apa Ga?” Gue yang sadar kalo Fany duduk di dekat gue,  jadi bikin jatung gue serasa copot karena terlalu girang. “Gini nih Fa, kita nanti kalau sudah sampai Jogja, gue boleh ajak lo jalan nggak?” Ya ampun, demi apapun juga, gue akhirnya bisa ngomong kayak gitu. Tinggal dentum jarum jam yang membuatku deg-degan menunggu jawaban Fany. Apa kau tahu bahwa butuh usaha lima juta Joule untuk mengatakan hal ini dan menghabiskan 100 ml air keringat untuk menahan rasa deg-degan ini? Oh ya ampun, gue rasanya kayak mau melamar gadis desa aja.
“Oke deh Ga, bosen juga kayaknya kalo di Jogja cuman ketawa-ketiwi bareng temen-temen gue.” Ah, itukah jawabannya? Singkat, nggak jelas, dan kayaknya kurang ikhlas. Tapi gue seneng deh dengernya, kayak dapet sinar harapa dari senter eyang gue, terang banget deh.
“Yaudah deh Ga, gue balik ke tempat duduk gue dulu ya.” Wah, dia senyum ke gue. Mimpi apa semalem? Perasaan gue nggak mimpi apa-apa deh, sama seperti otak gue yang kosong dan sekarang terisi oleh sosok Fany. Sambil senyam-senyum membayangkan senyuman Fany, tiba-tiba ada sesosok iblis yang membuyarkan bayangan indah itu.
“Kenapa lo Ga senyam-senyum sendiri? Gue sih berharapnya elo masih sehat lahir, terutama batin.” Huh, dasar si Sony. Ganggu aja deh lamunan indah gue. Sosok figuran kayak lo itu seharusnya nggak usah ngerusak lamunan gue. Kasian kan lamunannya hilang sebelum gue sempat bosan untuk terus melamunkannya. Apa? Bosan? Nggak bakal deh gue bosan buat mikirin Fany.
“Eh, gimana nih sob PDKTnya? Lancar, aman, damai, sentosa?” Ah, si Doni balik lagi. Rasanya gue pengen teriak-teriak didepannya sambil ngungkapin semua perasaan gue. “Lancar sehat wal ‘afiat Don. Seneng banget gue bisa ngajak Fany jalan. Pengen deh cepet-cepet sampai ke Jogja.” Seumpama gue cewek, pasti gue bakalan cerita panjang lebar tanpa spasi sepanjang tembok Cina, sedalam samudra Pasifik, setinggi gunung Everest, selebar epithel dalam mulut, setipis untaian DNA dalam kromosom, dan se-apapun itu yang bisa mewakili perasaan gue.
“Wah hebat lu Ga, gue kirain lu bakal kayak orang gagap. By the way, emangnya lu udah punya persiapan buat dia?” Ah, gila! Bodoh banget gue, masak gue cuman membawa sesosok nyawa tak berharga ini buat jalan dengan dewi khayangan. Oh, tidak! Modal gue nggak cukup.
“Eh Don, gue minjem uang lo bisa nggak? Bokap lo kan kaya, punya uang segudang. Pasti elo dapet uang banyak dari bokap lo.” Harap gue supaya Doni ngasih gue santunan untuk rakyat jelata ini.
“Tenang sob, gue udah mempersiapkan segalanya buat sahabat gue ni. It’s easy.” Ah, syukurlah. Doni emang sahabat gue yang paling pengertian. Dari sejak masih ngupil sampai segedhe bodong ni.
Suasana malam yang membosankan ini tak sanggup membuatku gerah merasakannya. Tapi gue sadar kalo gue harus tidur untuk mempersiapkan semuanya, biar wajah ganteng gue tetep fresh.

Esok harinya sinar matahari langsung nampar muka gue. Mengalihkan pandangan gue ke arah seonggok babi yang tak sadarkan diri, si Doni.
“Eh, bangun Don. Udah nyampai nih kita di Jogja. Nih busnya mau transit dulu, biar kita bisa makan dan mandi dulu. Jangan tidur aja lo.” Doni yang tersadar dari alam bawah sadarnya kemudian menggeliat seperti cacing kepanasan, ah tidak, tapi seperti babi kepanasan. Gue yang udah pengen cepet-cepet mandi segera aja menuju bagasi bus. Waduh, disana gue ketemu si Fany. Oh Tuhan tolonglah, muka gue masih kusut kayak koran bekas nih.
“Eh Ga, lo mau makan atau mandi dulu?” tanya Fany dengan halusnya seperti biasa.
Gue dengan ancang-ancang penuh semangat segera menjawab. “Mandi dulu dong, biar seger lagi.” Emangnya kayak si babi sebelah gue tuh yang nggak pernah mandi, tapi cuman gue tahan dalam hati.
“Wah, sama dong Ga. Gue juga mau mandi nih.” Ah, sama dong. Ayo kita mandi bareng aja. Hush, kalo gue sampai ngomong kayak gitu, bisa-bisa gue dikira cabul cap jengkol. Ih, ogah.
“Ya udah, ayo kita jalan bareng ke sana. Kan arahnya sama.” Sebagai awalan nih buat persiapan jalan nanti malam. Biar nanti kalo mau jalan, nggak kayak orang bisu.
“Oke, ayo. Girls, ayo cepetan berangkat ke kamar mandi.” Waduh, ternyata rombongan-rombongan genit dari pasar Tanah Abang juga ikutan tuh. Ah, merusak suasana aja, huft.
Setelah semua persiapan selesai, gue beserta rombongan menuju ke objek wisata Monumen Jogja Kembali. Monumen ini menceritakan tentang perjuangan rakyat Jogja untuk melawan kolonial Belanda. Wuih, tumben bahasa gue berat. Biasanya aja, perkalian dua bilangan butuh setengah jam buat menyelesaikannya, sungguh tragedi yang mengenaskan. Lebih mengenaskan daripada peristiwa tenggelamnya kapal Titanic ataupun matinya Romeo dan Juliet.
Setelah semua objek wisata siang ini telah dikunjungi semua, gue beserta rombongan menuju ke rumah makan Suharti. Biasalah, rombongan gue kan isinya orang-orang kaya dari SMA Negeri 2 Jakarta, jadi harus makan  tempat yang elite juga dong. Si Doni yang nggak punya perut itu udah habis dua porsi. Dan sebelum dia mau nambah lagi, gue bungkam mulutnya. “Yang bener aja lo. Jangan makan banyak-banyak, bikin malu rombongan aja” bisikku kepada Doni.
Sang surya yang tersungkur ke ufuk barat menunjukkan bahwa sore telah menjemput. Inilah saat yang ditunggu-tunggu, jalan-jalan di Malioboro. It’s shopping time! Tapi bagi gue, sore menjelang malam ni merupakan hal yang berharga. Lebih berharga daripada seonggok berlian di museum London maupun kode rahasia pembobol jaringan FBI. Malam ni, malam terakhir di Jogja merupakan malam dimana gue bisa jalan bareng Fany. Fany yang terlihat anggun, dan seperti biasa, cantiknya saingan sama Luna Maya, tapi gue jelas nggak mau jadi Arielnya dong. Gawat dong kalo terjadi kejadian kayak gitu. Hush, jangan mikir aneh-aneh. Nah itu Fany datang.
“Eh, Fany. Nggak ikut belanja bareng teman-teman lo?” Haduh, basa-basi gue jelek amat. Kalo dia jawab, oke deh gue belanja dulu, bisa mati berdiri membentuk sudut 90o terhadap bidang, terbebani gaya gravitasi 9,8 ms-2 dan jatuh dengan kecepatan 0,5 ms-1. Oh, tidak!
“ Katanya mau jalan bareng sama gue? Nggak jadi ya?” Waduh, bener kan apa kata gue bilang.
“Jadi dong, ini kan malam spesial buat gue.” Gue pun langsung ngajak dia jalan-jalan mengelilingi Malioboro sambil ngobrol dengan asyiknya. Beli jajanan khas Jogja sambil jalan-jalan mengelilingi Malioboro. Saat kami sedang asyiknya ngobrol sama dia, tanpa sengaja tangan gue nyentuh tangannya Fany. Gue yang nggak mau kehilangan kesempatan, langsung gue gandeng aja tangannya tanpa melihat Fany. Rasanya sih agak canggung, tapi lama-kelamaan genggaman gue jadi mantap, nggak canggung lagi. Hmm, nggak gue sangka akan ada hari dimana gue bisa jalan bareng Fany. Seandainya ini sinetron, pasti udah gue pause tuh tv gue. Nggak bakal bisa gue lupain lah momen-momen indah kayak gini. Gue kayak udah jadi pacarnya Fany aja. Fany yang terlihat ceria, semakin membuatku ingin lebih membuatnya senang. Hingga sampailah di suatu taman yang entah sudah sejauh mana kita jalan. Kami pun duduk di bangku taman tersebut.
“Ah, seneng deh Ga gue. Udah lama gue nggak merasa sebahagia ini. Kalo lo gimana?” Wah, bukannya seharusnya gue tuh yang senengnya tujuh langit tujuh samudra?
“Gue juga seneng banget Fan. Seneng rasanya bisa ngajak lo jalan setelah penantian gue selama ini.” Seandainya lo tahu penantian panjang gue untuk menunggu sesosok dewi cantik seperti lo buat jalan bareng.
Semilir angin malam yang dingin semakin menguatkan genggamanku, genggaman antara tangan gue dengan tangan Fany. Bukankah Tuhan menciptakan sela-sela di antara jari-jari tangan untuk diisi dengan jari-jari yang lain? Yap, semoga saja pasangan dari sela-sela jari Fany memang untuk diisi jari-jari tanganku. Fany yang tiba-tiba menatap gue, sejenak membuat gue menelan ludah. Gue kemudian menatap Fany dengan khidmat. Gue mendekat ke wajahnya, dan gue cium pipi kanannya. Sejenak, kami pun berdiam diri sampai ada ingatan menerobos kepala kosong gue.
“Eh Fa, udah malam banget nih. Ayo kita balik ke bus kita.” Gue dan Fany pun beranjak tanpa melepas genggaman gue. Kami pun menuju bus sambil membisu. Sungguh momen-momen yang kurang gue harapkan. Apa karena ciuman gue tadi ya?
“Eh Fan, lo marah sama gue ya?” tanya gue karena penasaran. Gue takut kalo Fany sampai marah sama gue. Jadi sia-sia dong usaha gue buat PDKT ke dia.
“Nggak kok. Gue nggak marah.” Raut wajahnya yang muram jelas tidak sesuai dengan senyum yang dipajangnya. Gue nggak tahu, apa sih salah gue. Hhah! Nggak sesuai dengan rencana gue nih. Shit!
“Lalu kenapa lo keliatan marah gitu? Ayolah Fan, terus terang deh sama gue.” Aduh, jangan bikin gue penasaran setengah wafat dong. Gue kan nggak mau mati muda.
“Nggak, nggak apa-apa gue. Mungkin belum saatnya lo tahu.” Setelah itu, kami pun masuk ke dalam bis. Kami duduk di tempat masing-masing. Gue tak henti-hentinya melirik ke arah Fany. Kadang-kadang gue juga memergoki Fany lagi ngeliatin gue---eaaa. Ya ampun, please. Jangan mikir aneh-aneh deh, ini lagi masa berkabung tahu.
Sepanjang perjalanan kembali ke Jakarta terasa sangat sepi. Selain teman-teman yang sudah lelah, Doni pun sudah meregang nyawa ke alam mimpi di sebelah gue. Raungan dari mulut monyongnya tak mampu mengalihkan pikiranku dari kejadian tadi malam. Awal yang menyenangkan, pertengahan yang menakjubkan, namun diakhiri oleh kisah yang mengharukan.
Sesampainya di SMA Negeri 2 Jakarta, kami yang sudah ditunggu oleh orangtua kami mulai memasuki mobil masing-masing untuk pulang ke rumah. Sesampainya dirumah pun gue tetep aja nggak bisa berhenti memikirkan kejadian tadi malam. “Oke, gue harus ngajak Fany ketemuan di taman kecil dekat rumahnya.”
Fany yang sudah tiba disana terlihat menungguku dengan cemas. Gue yang udah harap-harap cemas segera duduk disebelahnya.
“Fan, gue pengen minta penjelasan dan kejelasan tentang semua ini.” tanyaku tanpa basa-basi.
Fany yang terlihat muram pun langsung menatap gue. “Ga, gue nggak bisa. Gue ngerasa bingung, bingung banget Ga!” seketika itu pula air mata mengalir di pipi lembutnya. Gue yang bawa sapu tangan langsung mengusap pipinya dengan lembut dan penuh perasaan.
“Bingung kenapa Fan? Gue cuman pengen bisa jadi pacar lo aja. Gue nggak…” tiba-tiba Fany memegang tangan gue sambil terus terisak.
“Ga, gue nggak bisa nerima lo. Gue udah ada yang punya, si Ferry. Gue…” seketika mendengar hal itu, gue pun nggak bisa menahan semuanya lagi.
“Kenapa sih Fan lo nggak ngomong ke gue dari dulu. Lo tahu sendiri kan kalo gue selama ini terus memimpikan kalo gue bakalan jadian sama elo. Tapi kenapa lo malahan cuman ngasih harapan kosong ke gue. Lo tahu nggak sih betapa sakitnya hati gue.” gue udah nggak bisa menahan semuanya. Alunan Alice dari Mozart pun nggak bisa menjelaskan betapa sakitnya hati gue.
“Tapi Ga, gue nggak bisa ngomong ke elo. Gue takutnya lo udah sakit hati sebelum nyoba…..” Penjelasan Fany ke gue tetep nggak bisa menahan darah yang sudah mengalir dengan derasnya ke kepala ini. Seluruh otot-otot kepala rasanya berkontraksi, tak ada yang sempat mengalami relaksasi.
“Hah, shit! Elo itu emang cewek cakep, mana mungkin tahu artinya patah hati. Tapi pinter kalo bikin orang sakit hati.” Gue yang udah terlalu sakit hati lalu pergi keluar. Namun waktu gue mau berdiri, tiba-tiba Fany ikut berdiri. Teguk tenggoroknya seakan menyampaikan sesuatu tentang sebuah kepastian.

Nggantung ya??? Emang gue bikin biar penasaran…. :D Suka gak? Kalo ada komentar silahkan yang penting bersifat membangun dan tidak sok tahu…. J