TRANSLATE THIS BLOG

Translate this page from Indonesian to the following language!

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Widget edited by Anang

Wednesday, February 23, 2011

Serangga pun Tahu Berobat

Jika anda sakit, berusaha berobat kah? Tentu saja! Namun bagaimana dengan organisme lain di dunia? Simpanse, kadal atau serangga, ketika sakit berobat kah mereka?
Beberapa penelitian ilmiah menunjukkan bahwa hewan pun tahu berobat tatkala sakit. Di pertengahan 1980an, observasi atas beberapa populasi simpanse di sekujur benua Afrika merekam beberapa kejadian di mana satu dua individu simpanse mengunyah jenis dedaunan yang tidak lumrah. Dedaunan ini biasanya punya rambut-rambut relatif panjang dan keras di permukaannya. Dalam kosakata botani, karakter sedemikian dikenal sebagai karakter hispid. Karakter hispid dari satu jenis tanaman layaknya membuat dedaunan tanaman bersangkutan tidak ideal sebagai makanan sesehari simpanse. Studi lebih lanjut menunjukkan bahwa perilaku memakan dedaunan yang tak lumrah ini rupa-rupanya punya korelasi dengan status kesehatan simpanse bersangkutan. Eksperimen empiris di kemudian hari menunjukkan bahwa simpanse dengan jumlah parasit tinggi di dalam sistem pencernaannya punya tendensi yang lebih tinggi untuk mencari dan mengunyah dedaunan dengan karakter hispid. Menariknya lagi, konsumsi dedaunan dengan karakter hispid ternyata berkorelasi dengan turunnya jumlah parasit dalam sistem pencernaan simpanse. Observasi lapangan sepanjang 1990an menunjukkan bahwa perilaku semacam ini cukup lumrah bukan hanya di kalangan simpanse, namun juga gorila dan makaka  di berbagai lokasi terpisah di Afrika. Menariknya lagi, jenis tanaman yang jadi 'obat' andalah berbagai populasi terpisah ini berbeda-beda jenisnya, namun semua tanaman yang jadi 'obat' anti parasit punya karakter hispid (Huffman 1997).
Setelah observasi di populasi kera besar di atas, beberapa studi lain pun menunjukkan bahwa domba dengan infestasi parasit tinggi dalam tubuhnya lebih memilih makanan dengan kandungan tannin tinggi (Villaba et al. 2006). Tannin adalah senyawa kimia polifenol yang jamak ditemukan di berbagai tanaman. Rasa kecut yang terasa di lidah ketika mengecap buah yang belum matang, sering kali datang dari kandungan tannin tinggi dalam buah muda. Tannin punya kemampuan untuk menangkap dan mengisolasi protein. Selain itu, tannin juga dikenal sebagai senyawa anti-parasit alami.
Bahwa kera dan domba, dua binatang yang relatif dekat dengan manusia di jenjang evolusi, punya kemampuan untuk memilih makanan yang mampu mengobati penyakit yang tengah mereka derita saja sudah menarik. Namun dua tahun lalu, satu grup peneliti di Arizona, AS, menemukan bahwa perilaku berobat teryata terjadi juga di antara serangga (Singer et al. 2009).
Perilaku berobat ini ditemukan di salah satu larva ngengat, Grammia incorrupta, yang sering ditemukan di kedelai atau tanaman leguminosa lain. Larva ngengat ini punya tampang sangar dengan rambut-rambut panjang di sekujur tubuhnya. Di Amerika, tubuh besar berbulunya jadi membuat ulat ini dikenal sebagai woollybear caterpillar. Di alam, ulat woollybear punya segudang musuh alami. Beberapa tawon parasitoid gemar menginjeksi telur ke tubuh ulat woollybear untuk kemudian membajak tubuh ulat ini sebagai inkubator telur-telur mereka. Dua tahun lalu, penelitian yang dipublikasi di PLoS One melaporkan bahwa larva G. incorrupta yang telah terinjeksi telur parasitoid secara aktif memilih tanaman dengan kandungan alkaloid pyrrolizidine tinggi. Seperti tannin, alkaloid adalah senyawa kimia yang secara natural diproduksi oleh banyak tanaman (meski  banyak pula organisme lain seperti cendawan yang memproduksi alkaloid). Beberapa contoh alkaloid yang familiar buat kita adalah morphin dan caffein. Hampir semua alkaloid terasa pahit di lidah, dan oleh tanaman alkaloid seringkali diproduksi sebagai senyawa pertahanan diri. Di kasus ulat wollybear, senyawa alkaloid tidak punya kandungan nutrisi. Bahkan publikasi di atas menunjukkan bahwa jika alkaloid yang sama dikonsumsi oleh ulat wollybear sehat, senyawa ini bekerja sebagai racun bagi sistem fisiologu sang ulat. Namun menariknya, jika ulat yang sakit oleh ulah parasitoid mengkonsumsi senyawa alkaloid pyrrolizidine, ulat sakit ini jadi punya kans bertahan hidup lebih tinggi. Dengan membedah ulat-ulat yang bertahan hidup, grup peneliti dari Arizona ini menunjukkan bahwa konsumsi alkaloid tadi punya andil dalam menghentikan pertumbuhan telur parasitoid dalam tubuh ulat woollybear.
Rupa-rupanya bukan hanya saya dan anda saja yang pergi mencari aspirin ketika sakit kepala, namun demikian juga simpanse, domba, serangga dan entah apa lagi di luar sana.
Referensi:
Huffman, M.A. 1997. Current Evidence for Self-Medication in Primates: A Multidisciplinary Perspective. Yearbook of Physical Anthropology 40:171–200. 
Singer, M.C., K.C. Mace, E.A. Bernays. 2009. Self-Medication as Adaptive Plasticity: Increased Ingestion of Plant Toxins by Parasitized Caterpillars. PLoS ONE 4(3): e4796. doi:10.1371/journal.pone.0004796.
Villalba, J., M.D. Provenza, R. Shaw. 2006. Sheep self-medicate when challenged with illness-inducing foods. Animal Behavior 71: 1131-1139.

Tuesday, February 15, 2011

Peran Material Organik Alamiah Terlarut di Lingkungan Akuatik


Alam memiliki suatu hubungan reaksi yang sulit dijelaskan dengan merkuri atau raksa. Tetapi para peneliti dari Department of Energy's Oak Ridge National Laboratory telah berhasil membuat suatu penemuan yang dapat menjelaskan hubungan yang aneh ini.
Ketika para ilmuwan telah mengetahui bahwa beberapa mikroba di lingkungan perairan dapat menghasilkan metilmerkuri, suatu bentuk senyawa organomerkuri yang lebih beracun dibanding merkuri itu sendiri yang terakumulasi dalam tubuh ikan, mereka juga mengetahui bahwa alam dan beberapa spesies bakteri lainnya dapat mengubah metilmerkuri ke dalam bentuk yang kurang toksik. Hal yang kurang mereka pahami sepenuhnya adalah bahwa mekanisme transformasi ini terjadi pada keadaan lingkungan yang anoksik atau kurang oksigen.
“Hingga saat ini, reaksi antara merkuri murni dengan material organik terlarut telah dipelajari dalam kondisi lingkungan anoksik,” kata Baohua Gu dari Environmental Sciences Division Department of Energy's Oak Ridge National Laboratory.
Pada sebuah jurnal yang dipublikasikan pada Proceedings of the National Academy of Sciences, sebuah tim riset yang dipimpin oleh Gu melaporkan bahwa senyawa yang dilepaskan oleh material organik akuatik telah mempengaruhi terjadinya siklus merkuri di lingkungan perairan tersebut. Konsentrasi yang rendah dari senyawa ini dapat mengurangi merkuri, tetapi seiring dengan bertambahnya konsentrasi senyawa tersebut reaksi yang terjadi semakin terhambat. Dari fakta ini didapat suatu kesimpulan bahwa senyawa yang dihasilkan dari reaksi tersebut bertindak sebagai inhibitor bagi reaksi selanjutnya. Para peneliti ini melakukan eksperimen mereka dengan menyesuaikan kondisi eksperimen dengan kondisi sesungguhnya di alam.
“Studi ini mendemonstrasikan bahwa pada sedimen dan lingkungan air yang anoksik, materi organik tidak hanya mampu untuk mengurangi merkuri, tetapi juga dapat mengikat merkuri,” kata Liyuan Liang, co-author jurnal ini. “Pengikatan ini juga menyebabkan merkuri kurang tersedia bagi mikroorganisme untuk membentuk metilmerkuri.”
Para penulis juga menginformasikan bahwa dalam jurnal ini ditawarkan suatu mekanisme yang dapat membantu menjelaskan interaksi antara material organik dengan merkuri di dalam lingkungan akuatik yang terlihat cukup kontradiktif.
Gu dan Liang berharap pengetahuan terbaru ini dapat memainkan peranan penting dalam membantu untuk memahami terjadinya siklus merkuri di lingkungan akuatik dan sedimen serta dapat membantu menginformasikan pengambilan kebijakan berkaitan dengan penanganan pencemaran merkuri di berbagai negara.
“Tujuan jangka panjang kami adalah untuk memahami mekanisme pengontrolan metilmerkuri di lingkungan,” kata Liang. “Pemahaman ini dapat menuntun kita kepada cara untuk mengurangi tingkat keracunan merkuri pada tubuh ikan karena ini merupakan permasalahan global yang cukup signifikan dampaknya.”
Merkuri tersebar di banyak tempat di dunia yang utamanya diakibatkan oleh pembakaran batubara, proses industri, dan kejadian alam seperti erupsi gunung berapi. Berbagai macam bentuk merkuri ditemukan dalam sedimen dan perairan.
Penelitian semacam ini diuntungkan oleh kecanggihan laboratorium geokimia dan mikrobiologi, pemodelan komputasional dan simulasi, sumber neutron berkelas dunia, serta sistem komputer yang berperforma tinggi yang dimiliki oleh Oak Ridge National Laboratory.
Diterjemahkan secara bebas dari www.sciencedaily.com

Sunday, February 13, 2011

Rekayasa Bakteri E.coli untuk memproduksi Biodiesel


Bakteri E.coli dikenal terlibat pada berbagai penyakit dan keracunan makanan. Namun bakteri ini bisa saja menjadi kunci pada masa depan energi terbaharukan.
Desmon Lun, Associate Profesor Ilmu Komputer pada Universitas Rutgers-Camden, sedang meneliti bagaimana cara merekayasa Genetika E.coli untuk memproduksi biodiesel berbasis asam lemak. 'Jika kita berhasil merekayasa organisme biologis untuk memproduksi bahan bakar biodiesel, kita akan menemukan cara baru untuk menyimpan dan mempergunakan energi,' Demikian kata Lun. Membuat energi terbaharukan dengan mengembangkan bahan bakar, seperti membuat etanol dari jagung, adalah praktek umum yang dicoba untuk mencapai produksi terbarukan.
Namun, menurut Lun, ' Sudah diketahui oleh kita, bahwa membuat bahan bakar dari bahan makanan tidaklah produktif. Itu terlalu mahal dan dapat mengganggu sumber makanan kita.'Salah satu alternatif adalah memodifikasi mikroorganisme E.coli untuk memproduksi asam lemak secara berlebih, supaya dapat digunakan untuk membuat biodiesel.' Molekul asam lemak tidaklah begitu berbeda dengan berbagai macam molekul bahan bakar,' kata Lun, yang adalah penduduk Philadelphia. ' Biodiesel adalah sesuatu yang dapat kita kembangkan dengan mudah. E.coli telah digunakan sebagai organisme laboratorium lebih dari 60 tahun dan sudah dipelajari dengan baik. Kita tahu banyak mengenai genetikanya dan cara memanipulasinya. Kita harus melakukan banyak intervensi untuk itu.'
Disinilah dimana keahlian ilmu komputer Lun berperan. Lun membangun model komputasi dari organisme E.coli untuk menentukan apa yang terjadi jika perubahan dilakukan. Perubahan tersebut termasuk menghilangkan enzim tertentu untuk memperbanyak produksi asam lemak.' Ini biasa kita sebut sebagai biologi sintetis,'kata dia. 'Ini adalah langkah selanjutnya dari rekayasa genetika. Bukannya dengan melakukan perubahan kecil pada gen tertentu, namun kami akan melakukan perubahan besar-besaran pada genome. Kami memasukkan trait baru, dan bukannya memodifikasi trait yang sudah ada.'
Lun menjelaskan,'Aspek unik dari pekerjaan kami adalah penekanan pada modeling komputer sebagai panduan. Bahkan bakteri sederhana ternyata sangatlah rumit. Modeling komputer menawarkan cara untuk mempercepat proses tersebut, dan membuat proses yang lebih cepat dan lebih baik.' Dengan cara ini, produksi asam lemak pada bakteri yang direkaya akan jauh lebih baik, dan memberi jalan pada pengembangan bahan bakar-bio.Lun berkolaborasi dengan peneliti dari Universitas Harvard pada proyek E.coli ini.
Tulisan ini diadaptasi dari bahan yang diberikan oleh Universitas Rutgers.
Diterjemahkan dari sciencedaily.com

Sunday, February 6, 2011

Resin Sintetik Terbarukan dan Dapat Terdegradasi Secara Alami


Dewasa ini, resin sintetik dibuat dari bahan-bahan fosil, seperti halnya minyak bumi. Resin sintetik ini relatif tidak dapat terurai secara alami (non-biodegradable) dan hanya dapat dibakar dengan tindakan pencegahan yang ketat serta dapat menghasilkan zat toksik bergantung pada jenis monomernya.
Polimer sintetik yang berasal dari bahan fosil ini telah lama menjadi permasalahan lingkungan, karena sifatnya yang relatif tidak dapat diurai secara alami sehingga menimbulkan berbagai dampak buruk terhadap lingkungan. Permasalahan ini memerlukan suatu inovasi untuk mengganti penggunaan polimer sintetik yang tak terurai dengan jenis polimer lain yang mudah terurai secara alami.
Untuk menjawab tantangan itulah, Prof. Gadi Rothenberg and Dr. Albert Alberts dari University of Amsterdam (UvA) telah menemukan jenis resin termoset (termoset merupakan jenis resin polimer yang tidak melunak ketika dipanaskan) yang terbuat dari bahan terbarukan yang sepenuhnya dapat didegradasi secara alami, tidak beracun, dan tidak berbahaya bagi manusia maupun lingkungan.
Kebanyakan produk plastik untuk keperluan rumah tangga maupun konstruksi terdiri atas jaringan tiga dimensi dari polimer yang saling berhubungan silang (crossed link). Jenis polimer dengan karakteristik seperti ini merupakan jenis polimer termosetting. Suatu contoh yang klasik adalah resin Bakelite yang diproduksi dari reaksi antara fenol dengan formaldehida. Resin sintesis lainnya seperti resin urea/formaldehida digunakan secara luas pada konstruksi industri seperti pada lembaran berdensitas sedang (Medium Density Overlay/MDO), sebagai campuran beton dan tripleks.
Dengan memilih material mentah dan kondisi proses yang tepat untuk reaksi hubung-silang (cross-linking) polimer, kimiawan yang tergabung dalam grup riset UvA's Heterogeneous Catalysis and Sustainable Chemistry telah berhasil membuat bioplastik yang bervariasi mulai dari material plastik keras hingga lembaran tipis yang fleksibel. Semua bioplastik yang berhasil dibuat tidak beracun, tidak berbahaya untuk digunakan manusia, dan dapat terdegradasi secara alami. Proses pembuatannya tidak menggunakan bahan-bahan yang beracun, dan ketika dibakar bioplastik ini juga tidak menghasilkan bahan-bahan yang berbahaya. Material yang digunakan sebagai bahan bioplastik ini juga telah tersedia di pasar dunia dengan harga yang kompetitif. Semoga resin sintetik terbaru ini dapat menjawab permasalahan lingkungan akibat resin sintetik yang tak dapat terurai.
Diterjemahkan bebas dari www.sciencedaily.com