Rintik hujan di luar terdengar begitu sendu dengan
temaram lampu kamar yang tidak begitu terang. Suasana sepi membuat pikiran
meracau untuk mencari hiburan di luar. Akan tetapi tubuh ini terlalu capai
untuk keluar, berharap akan ada hiburan yang datang. Tiada henti-hentinya
diriku menengok handphone jadul ini dan berharap akan ada sms masuk, terutama
sms dari Awan yang tak kunjung datang.
“Dring…”
Segera aku ambil handphoneku dengan cepat yang sedari tadi menganggur
di samping kasurku. Dengan cermat, diriku membaca sms tersebut. Setiap kata
yang terbaca, aku maknai dengan dalam. Tetapi nyatanya, sms itu datangnya dari
operator yang kian menambah kesedihanku. Aku kembali membaringkan badanku ke
kasur yang setia menemani kegundahan malam-malamku selama lima tahun terakhir.
“Ting tung ting ting…” Tanpa melihat layar handphoneku, aku yakin
kalau kali ini Awan yang menelponku, orang yang kabarnya selalu kunantikan.
“Wan, kamu tahu gak sih aku tuh sedih kamu cuekin terus seharian.
Kemana aja sih kamu?”, tanyaku dengan cepat.
Kupeluk bantalku sambil berceloteh, berharap dia akan kesal denganku
dan menunjukkan ekspresi imutnya meskipun hanya lewat suara.
“Aduh, Nada.. Apa-apaan sih? Ini Mama, bukan Awan. Mama cuman mau
ngasih tahu kalau nanti mama sama papa mau pergi keluar kota selama tiga hari.
Jangan lupa rumahnya dibersihkan setiap hari ya sayang.”
Mendengar suara yang jauh dari harapan tersebut membuat diriku kecewa.
Aku merasa semakin sepi dengan kesendirianku di rumah yang sederhana ini.
“Iya Ma. Jangan lupa oleh-olehnya ya. Hati-hati di jalan Ma.”, jawabku
dengan nada data.
Aku akhiri percakapan ini dengan membalikkan badanku, berharap aku
akan tertidur pulas.
“Dimana kamu Awanku? Mengapa sekarang kamu menjadi mendung yang selalu
membuatku sedih?”
***
Suara burung yang bersahutan, semilir angin segar, dan rimbun hijau
pepohonan dengan ramah ikut mengantarku ke sekolah. Setelah sampai di depan
gerbang SMA Negeri Sederhana, aku segera memasuki kelas XII-IPA 3. Di tengah
suasana riuh kelas, tiba-tiba aku melihat guruku datang dengan seorang pemuda
asing.
“Eh Indah, siapa tuh cowok? Anaknya Bu Risni ya?” Aku berbisik-bisik
dengan teman semejaku sambil terus mengamati setiap gerik-gerik pemuda
tersebut.
Bu Risni kemudian masuk dan berdiri di depan kelas ditemani oleh pemuda
tersebut.
“Anak-anak, ini ada siswa baru pindahan dari Tempelan.”
“Perkenalkan nama saya Awan, saya cowok tulen, sudah?”, jawabnya
dengan senyuman lebar.
Kata-kata Awan barusan membuat seluruh kelas, termasuk aku, tertawa
terbahak-bahak. Postur tubuhnya yang sedang dan pipinya yang tembem, membuat
setiap tingkahnya semakin lucu.
Awan akhirnya mendapatkan tempat duduk di sebelah mejaku. Aku yang
terkesan dengan selera humornya tanpa sadar berbuat hal yang memalukan.
“Hai Awan, namaku Nada. Sumpah, tadi kamu lucu banget!”
Seketika diriku sadar jika aku seperti gadis lajang yang suka
memperkenalkan diri, memang aku lajang, tetapi…
***
Semakin hari rasanya aku dan Awan semakin dekat. Aku yang tadinya
selalu berangkat sekolah lewat Jalan Kamboja, sekarang berpindah jalur ke Jalan
Mawar agar bisa berangkat bersama Awan yang rumahnya tidak jauh dari rumahku.
Aku suka saat dia segera menghampiriku di saat aku melewati rumahnya. Aku suka
dengan senyuman lebarnya yang menandakan betapa senangnya dia melihatku. Aku
suka dengan gayanya yang lucu, pipinya yang tembem, dan matanya yang bulat. Aku
suka bagaimana dia perhatian padaku, bagaimana tingkahnya saat dia merasa malu
padaku, dan pandangan sedihnya di saat aku merasa kesulitan. Aku merasa…
“Dring…”
Bunyi sms masuk menghancurkan lamunanku. Aku baru sadar kalau aku
harus segera pergi ke sekolah untuk mendekorasi panggung acara wisuda. Aku
merasa sangat senang karena angkatanku berhasil lulus dari Ujian Nasional yang
mengerikan.
Sesaat aku melangkahkan kaki di depan rumahku, aku merasa ada linangan
air mata yang menggantung, mengalir pelan di pipiku. Entah mengapa, aku merasa
sangat sedih ketika melewati Jalan Mawar. Aku merasa sesak, terasa ada gumpalan
emosi yang memenuhi rongga dadaku. Aku takut kehilangan Awan. Seseorang yang
baru kukenal setahun namun sangat berarti dalam hidupku. Meskipun kami sepakat
tidak akan pacaran, akan tetapi bukan itu yang membuatku sedih. Terendap rasa
takut dalam setiap langkah ini.
“Nada, ayo cepat ke sini! Aku butuh bantuanmu sekarang.”
Indah yang merupakan sahabat karibku segera menarikku untuk
mendekorasi panggung. Aku yakin akan ada hari yang lebih indah setelah acara
wisuda nantinya.
***
Seharian aku duduk di depan komputerku, berharap akan ada berita bahwa
pengumuman SBMPTN telah dipublikasikan. Waktu demi waktu kuhabiskan dengan
mengawasi Facebook dan memakan cemilan yang berserakan di sekitar meja
komputerku. Perasaan gelisah dan khawatir memaksaku untuk memakan segala jenis
makanan yang ada, mengacuhkan program dietku yang sudah berjalan selama tiga
bulan.
“Ting tung ting ting…” Segera kuambil handphoneku dan kulihat ada nama
Awan di layar handphoneku.
“Assalamu’alaikum… Apa apaan nih tiba-tiba nelpon? Kangen aku ya?”
Kulirik jam dinding yang menunjukkan pukul lima sore sambil meringis
akan kata-kataku barusan.
“Wa’alaikumsalam... Iya nih kangen, sudah tiga hari kita gak ketemuan.
Kamu belum jadi beruang kan?”
Terdengar tawa kecil Awan dari handphoneku. Tanpa dia sadari,
sebenarnya selama tiga hari tersebut aku merasa sangat gelisah memikirkannya.
Bagaimana jika nanti kami tidak satu universitas, bagaimana jika nanti kami
jarang berjumpa, dan bagaimana jika nanti kami semakin renggang. Laki-laki
memang makhluk yang paling tidak sensitif dan berpikiran pendek!
“Halo… Nada, kenapa kok bisik-bisik? Aku gak denger nih.” Suara
kebingungannya yang lucu kembali mengembangkan senyumanku.
“Ih pengen tahu aja nih. Makanya jangan di rumah aja, sesekali main ke
rumahku dong”
Awan memang seorang anak rumahan. Dia tidak pernah bermain jauh dari
rumahnya kecuali untuk sekolah.
“Ah nggak mau ah” Sesaat pembicaraan berhenti sejenak.
“Aku takut nih sama mama kamu.
Eh, pengumuman SBMPTN sudah terbit lho, coba deh buka websitenya. Aku akhirnya
berhasil masuk jurusan Teknik Geologi ITB nih. Kamu gimana? Masuk ITB juga
kan?”
Segera kubuka website SBMPTN dan memasukkan identitas diriku.
Nada Lily Sukmawati – FMIPA-Matematika Murni – UGM
Rasa sedih pun tak terbendungkan. Segera kubuang handphoneku dan
menangis di balik bantal. Aku sedih karena gagal masuk jurusan Teknik Kimia
ITB. Aku sedih tidak bisa bersama Awan pergi keluar melintasi Yogyakarta,
tempatku dan Awan tinggal. Aku mengutuk diriku sendiri yang gagal lolos SBMPTN
di pilihan pertama. Aku mengutuk diriku yang bermalas-malasan saat belajar. Aku
mengutuk diriku yang terlalu mencintai Awan, yang membuatku tidak mampu jauh
darinya.
***
Pagi ini tidak secerah pagi sebelumnya. Mungkin bagi orang lain sama
saja, namun tidak bagiku. Hari ini aku akan pergi ke Taman Mawar Merah. Sesuai
dengan namanya, taman yang berada di Jalan Mawar tersebut ditumbuhi banyak
tanaman mawar merah. Aku memakai kaos merah muda dengan kardigan abu-abu
pemberian Awan. Jeans biru dan sneakers abu-abu menyempurnakan penampilanku
saat ini. Aku telah menyiapkan diriku sesempurna mungkin. Kupasang senyuman
terindahku sambil melangkah menuju taman tersebut.
Hari ini Awan tidak berpakaian seperti biasanya. Kali ini dia
menggunakan kemeja biru tua kasual dan jeans hitam. Ditambah dengan sepatu
Kickers coklat gelap yang membuat dirinya menjadi lebih tampan daripada
biasanya. Rambutnya yang biasanya berantakan, sekarang terlihat rapi. Kulihat
wajahnya yang berpendar cahaya hangat, terasa ada sengatan cinta yang lebih
kuat. Senyumnya yang khas dengan wajah bulatnya yang lucu membuat diriku benci
pada kenyataan ini.
Hari ini merupakan hari terakhir Awan di sini, sebelum akhirnya dia
harus pergi ke Bandung untuk kuliah. Kami terus berbicara ini dan itu sambil
tertawa. Kami tidak ingin merusak hari ini dengan kesedihan. Akan tetapi, aku
harus mengutarakan isi hatiku sebelum aku kehilangan kesempatan itu. Sudah
tidak ada waktu lagi untuk menunda.
“Wan, aku mau ngomong sesuatu nih sama kamu.” Aku remas dengan erat
tas yang aku bawa. Aku merasa sangat gugup untuk mengatakan hal seperti ini.
“Kenapa Na? Ngomong saja, kayak orang gak kenal saja.” Wajah innocent Awan semakin membuatku bingung
bagaimana mengucapkannya. Aku sungguh bingung. Aku lihat sekitar taman ini,
berharap ada ide yang keluar dan…
“Begini, aku mau cerita. Ada orang namanya A dan B. Mereka itu sangat
dekat dan mereka suka satu sama lain meskipun nggak pacaran. Si A ini merasa
takut karena si B akan pergi ke tempat yang jauh. Dalam hati si A, dia ingin
membuat janji dengan B. A ingin kedua belah pihak selalu memberikan kabar agar
hubungan mereka tetap jelas. Apabila ada salah satu pihak yang kemudian suka
dengan orang lain, maka dia harus memberitahu pihak satunya agar tidak terjadi
penantian yang sia-sia. Menurut kamu Wan, si B itu mau gak ya janji seperti
itu?”, tanyaku sambil memperhatikan wajah Awan.
“Tentu saja si B mau. Si B bakalan sms dan telpon si A terus setiap
hari. Si B tidak mungkin bisa meninggalkan si A tanpa tahu kabar apapun
tentangnya. Si B pasti akan sangat takut jika terjadi sesuatu dengan si A…
Nada, aku gak mau kehilangan kamu...”
Awan kemudian menatapku dengan dalam, matanya yang jernih dan wajahnya
yang lucu membuatku selalu ingin memeluknya. Tidak pernah aku merasa sangat
sedih seperti ini, ditinggalkan oleh kekasih hati. Ingin rasanya waktu sejenak
berhenti,. Bersama di taman ini, saling bercerita tiada henti. Merasakan hangat
senyumnya yang meneduhkan hati, seakan semua masalah ini tidak pernah ada. Aku
pasti akan selalu merindukannya…
***
Tidak terasa hari ini sudah memasuki hari pertama di bulan Desember.
Musim hujan membuat hari-hariku semakin bertambah kelam. Setiap aku menatap
langit, sudah tidak ada lagi gumpalan awan yang menghias langit dengan warna
putih sucinya. Awan telah tergantikan oleh mendung yang gelap dan kelam, seakan
pembawa berita buruk dari langit.
Sudah seminggu Awan tidak memberi kabar. Seminggu yang lalu Awan
berpesan bahwa dia akan menonaktifkan handphonenya sementara karena akan ada
ujian tengah semester. Hidup terasa begitu hambar. Sudah lama aku tidak melihat
senyumnya yang menggemaskan dan perhatian ringannya yang menghibur. Meskipun
sebenarnya dia agak kaku, dia merupakan orang terlucu yang pernah aku kenal
sekaligus pisau yang siap menikam hatiku kapan saja.
“Dring… Dring… Dring…” Tiba-tiba saja ada tiga sms yang masuk bersamaan.
Perasaan aneh tiba-tiba saja muncul dari benakku. Aku baca satu per satu dari
setiap sms yang masuk. Sms tersebut berasal dari nomor yang tidak dikenal.
Pengirim sms tersebut seakan sudah mengetahui siapa aku meskipun aku belum
pernah mengenalnya.
“Halo Nada, aku Rizky. Aku cuman pengen kenal kamu saja. Tapi aku
sudah cukup tahu kok tentang kamu, paling kamunya saja yang belum kenal sama
aku.”
Sms yang cukup mencurigakan bagiku. Rasanya seperti ada yang ingin
mencoba mengerjaiku akan tetapi ulang tahunku sudah lewat. Aku tanggapi saja
setiap sms yang dia kirim secukupnya.
“Oh iya aku lupa. Aku itu sahabatnya Awan, aku tahu kamu karena aku
orangnya suka penasaran. Aku suka mencari tahu apa saja mengenai orang itu
dengan banyak cara. Bisa dibilang kepo kalau bahasa gaulnya.”
Sms ini membuatku sangat terkejut. Aku tidak menyangka bahwa malah
sahabatnya Awan yang menghubungi aku. Aku yang sudah sangat merindukan Awan pun
segera menanyakan kabarnya.
“Rizky, gimana kabarnya Awan?”
Secepat kilat kuketik tombol handphoneku. Kutunggu dengan rasa penuh
penasaran akan kabarnya.
“Ohhh, si Awan baik-baik saja kok. Kemarin dia sempat frustasi karena
kesalahan kecilnya. Aku kasihan dengan dirinya yang depresi karena masalah
kecil waktu ujian. Aku sangat sedih akan keadaannya kemarin. Tapi tenang,
sekarang keadaannya sudah membaik.”
Aku pun hanya bisa bernapas lega akan keadaannya yang sudah membaik,
meskipun aku sesungguhnya sangat khawatir dengan keadaannya sekarang.
Tiba-tiba saja ayahku masuk dari balik pintu, masuk kedalam kamarku
yang sangat sederhana. Beliau mengajakku untuk pergi ke Sleman untuk berkunjung
dengan teman dekatnya.
“Rizky, udahan dulu ya. Ayahku
ngajak pergi nih.”
Sebenarnya dalam hati aku masih ingin bertanya mengenai Awan lebih
jauh. Aku ingin tahu bagaimana dia sekarang, apakah baik-baik saja, apakah dia
pernah terkena masalah berat, dan kapan ujian yang mengganggu komunikasi kami
berakhir.
***
Semakin hari komunikasi antara Rizky denganku semakin akrab. Kami
sudah seperti teman sendiri yang mempunyai hobi sama, yaitu bercerita panjang
lebar. Aku bahkan sampai tahu kapan saja dia tidur, yaitu sekitar menjelang
dini hari sampai pukul lima pagi. Dia tidak akan pernah tidur siang kecuali
bila dia merasa sangat capai. Kebiasaannya tersebut sangatlah berbeda dengan
Awan yang sepanjang waktu luangnya dia gunakan untuk tidur dan tidur. Aku
sendiri pun sering kesal dengan kebiasaannya karena kebiasaannya tersebut
membuatku sulit menghubunginya, terutama jika aku merasa kesepian dan rindu
akan celoteh lucunya.
Sore hari yang sepi ini membuatku merasa sangat jenuh. Sudah seharian
semua hal yang aku lakukan sepertinya tidak ada yang berjalan dengan baik. Aku
membutuh kabar dari Awan sekarang, meskipun itu berarti aku harus menghubungi
Rizky. Kali ini aku akan menghubunginya langsung lewat telepon.
“Assalamualaikum Rizky…” Ku buka pembicaraan ini dengan hati-hati.
Baru pertama ini aku menelepon Rizky.
“Emmttt.. Wa’alaikumsalam… Kenapa?”, jawab Rizky samar-samar.
Terdengar suara Rizky yang menandakan kalau dia baru saja terbangun.
Kemungkinan dia sudah sepenuhnya sadar sangatlah kecil.
“Rizky tahu gak Awan sekarang lagi ngapain?”
Aku sudah sangat penasaran dengan kabar seseorang yang aku cintai itu.
Meskipun jarak memisahkan, sampai sekarang aku belum pernah merasa bahwa rasa
cinta ini akan berkurang. Mengingat kenanganku saat bersamanya dulu, bagiku itu
sudah lebih dari cukup. Berharap dia segera kembali ke sini, berjalan bersama
di Jalan Mawar, berbicara bersama di Taman Mawar Merah, semua itu tidak pernah
luput dalam setiap harapanku. Aku tahu aku terlihat bodoh, namun semua itu
karena aku mencintainya. Mencintai orang yang mungkin memang sudah tepat
bagiku.
“Hey, Rizky. Jangan tidur lagi. Awan lagi ngapain ini?”, kunaikkan
nada bicaraku.
Aku segera mengulangi perkataanku karena aku takut kalau Rizky kembali
tidur.
“Ini siapa ya?”
Sungguh keterlaluan, ternyata dia mengangkat tanpa melihat siapa yang
menelponnya. Jika aku disana…
“Emmttt Awan tadi keluar ke Dago, dia lagi jalan sama Dina. Kalau mau
datang cari dia, nanti malam saja. Aku mau tidur lagi. Bye.”
Buyar sudah semua lamunan manisku. Dada ini terasa sangat sesak dan
sakit seperti ada kerikil yang memenuhi rongga dadaku. Aku berharap ini
hanyalah sebuah ilusi suara. Akan tetapi dengan jelas suara tersebut terdengar,
jelas bukan sebuah ilusi. Aku tidak percaya. Aku menghabiskan semua waktuku
hanya untuk orang yang tidak mencintaiku lagi. Sungguh aku tidak akan
menangisinya, aku tidak akan menangisinya! Aku tidak akan menangisinya!
“Aku gak akan sedih karena kamu Awan!!!", teriakku
sekencang-kencangnya.
Langit-langit terlihat roboh dan semua menjadi gelap.
“Nada!!!”, terdengar suara dari balik pintu.
***
Aku sungguh kagum akan perasaanku sendiri. Begitu sakit luka yang
tertoreh dalam hatiku, namun kuabaikan. Begitu pahit kenyataan yang kuterima,
namun kubertahan.
Hari ini aku kembali dengan kicau burung yang terdengar riang, dengan
sepoi angin yang lembut, serta rimbun pepohonan yang meneduhkan. Aku kembali
melewati Jalan Mawar. Jalan yang menjadi saksi kenangan indahku bersama Awan.
Jalan yang melihat betapa bahagianya diriku saat berjalan menuju ke rumah Awan.
Jalan yang merasakan setiap getaran gairah saat diriku melihat senyuman Awan
yang manis. Jalan yang menjadi penghubung bagi rasa rinduku untuk melepas rasa
haus akan perhatian.
Hari ini aku kembali mengitari
Taman Mawar Merah. Taman yang setia menjadi pendengar saat aku dan Awan saling
berdebat. Taman yang menjadi tujuan saat kami tak tahu mau kemana. Taman yang
menjadi tempatku melepaskan rindu akan senyumnya, wajahnya, dan tingkah
lucunya.
Aku masih disini. Aku masih mengharapkan langit kembali cerah. Mendung
yang kelam itu berganti menjadi awan yang bersih, awan yang mampu menghiasi
hari-hariku. Awan yang selalu kunantikan kedatangannya untuk meneduhkan hatiku.
Tak akan kucabut rasa yang telah kugantung tinggi di awan putih.
Awan, aku masih di sini menunggumu…
*****