“Krakkk...”
Pintu yang rapuh itu terbuka. Perlahan bayangan hitam
menyusup masuk melalui celahnya. Tampak sosok hitam tegap membelakangi cahaya.
Bau anyir menguap di sekeliling bayangan tersebut. Terlihat darah menetes dari
ujung pisau yang ia pegang.Tangan kirinya berusaha untuk meraba setiap benda
yang mungkin untuk ia duduki.
“Bruukk!!!”
Dia menjatuhkan tubuhnya pada kursi tua yang telah lapuk.
Terdengar suara batuknya yang bersahutan terpicu debu gatal dari kursi
tersebut. Ia buang pandangannya pada sebilah pisau yang ia pegang. Ia
mengangkat pelan pisau itu hingga setara dengan dadanya. Sorot matanya terpaku
pada ujung pisau buram, tapi mampu memantulkan bayangan dirinya. Napasnya
semakin melembut seiring tatapannya yang mulai melemah. Pandangannya berubah
menjadi hampa.
“Indra, aku juga seneng banget bisa di deket
kamu.”
“Iya Ndra, aku terima kamu buat jadi
pacarku.”
“Maaf Ndra, aku gak tahu kalau aku ternyata
belum bisa melupakanya.”
“Ndra, jangan hubungi aku sekarang ya. Aku
takut dia marah.”
“Ndra! Kenapa sih kamu suka ikut campur
urusan orang!”
“Prakkk!!!”
Seketika Andre terbangun dari lamunannya. Seluruh badannya
gemetar saat menyadari kedua tangannya berlumuran darah. Ia cengkram erat-erat
rambut kepalanya. Urat-urat kepalanya timbul menerima tekanan batin yang berat.
Ia tersenyum. Seyumnya kemudian dibalas dengan pekikan yang pilu. Air matanya
semakin deras mengalir membuat raut muka semakin menyedihkan.
“Aaarrrgghhh!!!”
Ia hempaskan seluruh benda disekitarnya. Ia ambil pisaunya
yang terjatuh dan ia koyak dengan kasar bantalan kursi tempat ia bersandar
barusan. Rasa bersalah bercampur amarah menekan mentalnya dengan kuat. Napasnya
semakin memburu, menghiraukan rasa panas dan sesak yang terasa mengumpul di
rongga dadanya. Ia semakin menggila dan tak terkendali.
“Aaarrrgghhhh!!!”
Akal sehatnya telah lenyap. Tikaman bertubi-tubi mengoyak
seisi perutnya. Seisi ruangan kacau dengan tawanya yang menggelegar. Seiring
dengan suaranya yang melemah, tubuhnya roboh kehabisan darah. Pandangannya membayang,
lepas dari sudut sadarnya. Napasnya semakin melemah. Senyuman kecil muncul di
sudut bibirnya yang gemetar. Tubuhnya semakin pucat. Mulutnya berusaha terbuka
perlahan. Pandangannya semakin mengangan jauh ke dalam pikirnya. Terdengar
bisik lembut singkat sebelum mulutnya kaku.
“Aku melihatmu, Rara.”
No comments:
Post a Comment