TRANSLATE THIS BLOG

Translate this page from Indonesian to the following language!

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Widget edited by Anang

Friday, November 15, 2013

Treasure of Light




Temaram api membayang memaksa lensa mata untuk beradaptasi dengan keadaan. Tangan bergetar meraba setiap relief mencari topangan untuk berdiri. Selagi membersihkan debu yang mendekap dengan kuatnya, Ciel menguatkan topangannya.
“Apa yang sebenarnya barusan terjadi? Sepertinya aku terjatuh pingsan karena cahaya tadi.”, sambil mengamati keadaan sekitar yang hancur dan terbakar seperti meteor dalam legenda Gods’ Treason. Mendadak terasa aura tekanan yang daritadi sebenarnya terasa samar-samar, akan tetapi ini jelas nyata.
“Siapa disana! Keluarlah dan hadapi aku dalam Fiducia Dimension. Aku tahu daritadi kau mengikuti diriku pengecut!”
Suara Ciel hanya membentur alam, menggaung tiada balasan. Sepi, sunyi, dan tidak menampakkan apapun. Ciel mulai menarik belati untuk berjaga dari serangan tiba-tiba mengingat akhir-akhir ini banyak kejahatan yang sedang terjadi di desa Villant.
Mendadak angin bergemuruh, terlihat jejak bayangan yang cepat, hampir bersatu dengan gelapnya malam hingga akhirnya semua kembali tenang. Tampaklah seorang perempuan cantik yang memakai jubah berwarna biru safir dengan bulu yang sangat tebal dan pedang yang memiliki sarung bermata Truth Stone, pertanda bahwa dia bukan orang sembarangan. Tingginya hampir setara dengan mata yang menghias seakan mampu merasuki setiap jiwa perjaka. Wajahnya yang manis dan...
“Siapa kamu? Mau apa kamu mengikuti aku?”, tanya Ciel mencoba mengembalikan kewaspadaannya.
“Aku Scintilla Spada, kamu bisa memanggilku Tila. Maaf bila aku membuatku merasa terancam. Aku hanya ingin berteman denganmu. Aku tahu tujuan kita sama. Aku ingin bersama denganmu.”
 Kata-katanya seakan hipnotis dari penyihir Doroth yang melegenda, merasuk menggetarkan hati. Ciel mengamati keindahan yang tampak mendekati sempurna ditambah dengan pedang yang...
“Tunggu dulu! Aku tidak mengenalmu dan tiba-tiba kamu ingin berteman denganku. Kamu memiliki pedang yang langka dan kuat. Apa sebenarnya maksud dan tujuanmu?”
Dia pun kemudian maju selangkah demi selangkah, mendekat tanpa memiliki rasa takut sedikitpun.
“Aku sungguh memerlukan bantuanmu. Aku tidak yakin harus bagaimana. Hanya dengan pedang ini, tak mungkin aku sanggup menggapai keinginanku menghancurkan Figlio Di Inferno!”
Kalimat terakhirnya terucap tepat saat dia berada didepan batang hidup Ciel. Ciel pun luluh, teringat saat kehilangan semuanya, saat monster jahannam itu menghancurkan Bezarius Wall, tempat desa kelahirannya berada. Sesaat kemudian dia memeluk erat Tila agar dapat menumpahkan segala pedih yang tertumpuk belasan tahun lamanya. Saat Ciel mulai memejamkan mata mengistirahatkan sejenak menenggelamkan diri pada nostalgia akan keluarga, mendadak datanglah sekelompok orang asing.
“Siapa kalian!”, sembari membatasi tatapan mereka terhadap Tila yang masih bersedih.
“Aku tidak mencarimu anak muda. Aku hanya menginginkan perempuan muda yang ada dibelakangmu itu untuk diserahkan kepada Figlio Di Inferno untuk dijadikan sebagai pelacurnya.”, jawab 3 orang sembari tertawa hingga mengguncang jubah baja yang mereka pakai.
“Aku tidak akan membiarkan tindakan kalian penjahat! Fiducia Regret!”
Dimensi pun bergetar, terpanggil akan darah yang akan tumpah mengalir dari salah satu pihak. Ciel pun mengeluarkan belati rahasia yang jarang dia gunakan selama mengembara kecuali ada penjahat yang dianggapnya cukup kuat. Nampak aurora memancar dari belati itu, menampakkan adanya kekuatan yang terkubur didalamnya. Belati itu semakin memancarkan gurat hijau yang mengukir setiap sudut belatinya, mengubah bentuknya menjadi sesuatu yang aneh, bukan sebuah belati biasa. Ujungnya runcing dengan punggung melengkung dan terpotong seakan sirip naga utara dan sebaliknya seperti gigi naga selatan.
“Hah! Singkirkan saja mainanmu daripada harus mati melawan prajurit tangguh seperti kami ini sebelum kepalamu terpenggal.”, jawab salah seorang dari mereka dengan menampakkan kapak dan perisai besar mereka.
“Kalian lah yang akan terdiam dan malu harus memakai jubah prajurit seperti itu.”
Peperangan pun dimulai. Para prajurit tersebut menyerang dari 3 penjuru, berlari mendekati Ciel. Ciel pun menarik belatinya kedepan sembari menutup matanya, bersatu dalam irama alam. Para prajurit pun berlari semakin dekat.
“Spaccatura!”
Teriakan Ciel membuat belati itu bergetar. Diayunkanlah belati itu ke suatu titik didekatnya, hanyalah sebuah angkasa yang kosong. Mendadak terdengar retakan yang merambat cepat, membelah angkasa menjadi kepingan-kepingan. Dunia terasa seperti kaca yang mengalami kerusakan, retakan yang terus merambat keluar dengan cepat dan meraih para prajurit itu, membuat semua hal yang terjangkau oleh retakan itu terhenti dalam hampa. Seketika keluarlah cahaya lembut dari belati yang menandakan hancurnya semua retakan itu menjadi kepingan cahaya yang lambat laun sirna. Semuanya terlihat seperti sedia kala, tiada kehancuran seperti terbelahnya tanah sesuai yang nampak pada retakan tadi. Semua kembali, kecuali para prajurit yang terjatuh diam tak bernyawa.
“Bruk!”
Ciel pun jatuh tak sadarkan diri. Meninggalkan dengan tenang pertarungan tadi. Mengistirahatkan sejenak tubuhnya yang masih lemah karena kejadian misterius sebelumnya.
***
“Ciel, cepatlah sadar. Aku khawatir kita akan segera ditemukan oleh anak buah Figlio Di Infero.”
Tila hanya bisa menunggu dan menunggu hingga Ciel dapat sadar kembali. Tidak ada berita tersebar mengenai prajurit-prajurit yang mati semalam karena Tila dengan segera membuang mayat-mayat prajurit tersebut ke Lembah Truce dimana setiap tubuh yang jatuh kedalamnya akan dirasuki kembali dengan arwah para pengkhianat yang hanya akan terus menggali dan menggali dasar dimensi untuk menemukan kebebasan semu. Hanya tempat itulah, semua bukti kejahatan bisa disembunyikan, tempat yang berada diantara dimensi dan tidak berdimensi, tempat yang tidak bisa dijangkau oleh kekuatan Fiducia sekalipun.
Tiba-tiba tangan Ciel meraih Tila yang ada di dekatnya.
“Apa yang terjadi semalam? Apakah semuanya baik-baik saja?”, tanya Ciel dengan lemahnya.
“Tenanglah, semuanya aman. Hanya dirimu yang termakan oleh kekuatanmu sendiri. Kamu menuruti emosimu semata hingga lupa untuk menyatukan dirimu dengan Fiducia Dimension.”
Ciel kemudian termenung dan teringat bahwa dia termakan oleh kekuatannya sendiri hanya karena emosi semata, melupakan betapa pentingnya bersatu dengan irama Custode Chiaro, nama belati pamungkasnya itu. Dia sadar, kekuatan hanya akan merusak diri sendiri saat digunakan dengan emosi.
“Ciel, sepertinya kita harus menuju ke hutan Lapide untuk bertemu dengan seseorang yang mungkin akan sangat membantu kita. Tapi persiapkanlah dirimu karena kita akan menuju tempat yang mengerikan.”
Tila kemudian dengan pedang bermata Truth Stone yang menggantung dipinggangnya meraih tangan Ciel dan keluar dari gubuk untuk melanjutkan perjalanan.
“Tila...”, tanya Ciel dengan penuh kehati-hatian.
“Ada apa Ciel? Apa ada yang salah?”, jawab Tila dengan kecurigaan.
“Ah tidak, aku hanya ingin tahu, apakah kamu tahu cahaya apa yang membuatku sampai pingsan saat sebelum aku bertemu denganmu. Aku yakin kamu sudah melihatnya.”
Tila kemudian termenung seakan menyembunyikan sesuatu, terlihat berpikir untuk mengelak kebenaran.
“Itu bukanlah apa-apa. Itu merupakan kotoran Naga Utara yang kebetulan lewat dan kotorannya yang bercahaya seperti mutiara itu menimpa dirimu dengan sangat cepat.”, jawab Tila dengan tawa kecil menganggap kejadian yang dialami oleh Ciel merupakan hal yang konyol.
“Ah sial! Aku seperti orang tolol yang pingsan karena tertimpa oleh kotoran naga”
Ciel hanya bisa tertawa terbahak-bahak bersama Tila. Akan tetapi, dalam hati Ciel, dia menaruh curiga akan jawaban Tila yang terdengar seperti sebuah kebohongan.
Perjalanan terus berlanjut hingga akhirnya sampailah di Gerbang Anima yang terkesan gersang dan tak terawat. Semua tumbuhan terlihat layu dan menggantung, tidak ada kehidupan yang terlihat nampak. Sesaat melewati gerbang, seketika langit yang tadinya pagi menjadi malam yang gelap dengan kabut yang cukup tebal. Suasana hutan mati yang mencekam, hanya cahaya Red Moon yang sedikit menerangi namun menambah kelamnya tempat ini.
“Awas!”
Tiba-tiba saja Tila mendorong Ciel bersamaan seakan menghindari sesuatu yang sama sekali tidak disadari oleh Ciel itu sendiri.
“Ada apa tadi? Kenapa kamu mendorongku?”, tanya Ciel dengan penuh kebingungan.
“Tadi ada bayangan lewat, sangat cepat, kamu harus berhati-hati. Bayangan itu bisa membawa sebagian kekuatan jiwamu dan membuatmu merasakan ketakutan yang mengerikan. Tetaplah didekatku, hanya pedangku ini yang bisa melihat semuanya.”
Ciel kemudian baru sadar bahwa pedang milik Tila memancarkan cahaya kuning pada mata Truth Stone-nya. Pedang yang menurut sejarah hanya ada satu dan merupakan pusaka kebanggaan bangsa Verità karena bisa menembus semua kekuatan ilusi, kegelapan, dan masih banyak misteri akan kekuatan pedang ini. Namun bangsa ini telah dihancurkan oleh Figlio Di Inferno dan Tila merupakan bangsa Verità terakhir.
“Sepertinya kita harus segera sampai ke Anima Cuore untuk bertemu dengan pemilik dimensi ini. Ciel, jangan gunakan belatimu dulu karena kamu masih belum pulih sepenuhnya.”
Ciel hanya bisa mengikuti Tila untuk menuju ke Anima Cuore dan berharap dia tidak perlu menggunakan belatinya untuk mempertahankan diri.
“Tiarap!”
Kali ini Ciel dapat merasakan bayangan itu, akan tetapi saat Ciel yang tidak memiliki Truth Stone dapat merasakannya, itu berarti merupakan suatu pertanda buruk. Diatas mereka banyak ratusan Soul Eater yang terbang mencari jiwa yang sempat tercium oleh mereka.
“Kali ini sudah terlampau bahaya, peganglah tanganku Ciel, dan bayangkan bahwa kamu menyukai keberadaanku dan mempercayaiku”
Ciel kemudian menggenggam erat tangan kiri Tila dan mulai membayangkan. Dia merasa sulit karena sebelumnya dia menaruh curiga kepada Tila. Ciel pun panik dan berpikir keras bagaimana caranya agar dia mempercayainya. Akhirnya Ciel teringat kejadian pertama kali saat mereka bertemu dan menceritakan nasib yang sama, kepercayaan Ciel pun kembali. Seketika itu pula, bersinarlah mata Truth Stone dan ditariklah pedang itu oleh Tila.
“Fiducia Regret!”
Cahaya yang sangat terang keluar dari pedang itu dan membentuk suatu perisai cahaya dengan ribuan Peri Cahaya keluar dari serpihan pedangnya. Saat pedangnya habis, selesailah jutaan peri-peri itu keluar dengan cahaya yang sangat terang. Mereka melebur dengan tubuh Ciel dan Tila, membentuk sayap dan perisai cahaya yang sangat terang dan mengeluarkan aura yang membuat Soul Eater sekitarnya pupus.
“Velloce Mossa!”
Cahaya itu kemudian semakin terang, dimensi kemudian merapat dan secepat kilat jubah cahaya itu membawa Ciel dan Tila menembus semua Soul Eater dan sampailah ke Anima Cuore. Kemudian semua cahaya itu kembali membentuk ribuan peri yang terbang menyatu menjadi sebuah pedang kembali. Suatu kekuatan pertahanan yang tidak bisa disentuh sedikitpun oleh kekuatan kegelapan murni.
“Apakah ini yang namanya Anima Cuore?”, tanya Ciel yang terkagum karena ada pohon raksasa yang dikelilini oleh jutaan Light Wisp yang selalu beredar mengelilinginya.
“Iya, inilah Anima Cuore, jantung dari dimensi ini. Ini merupakan tempat sahabat bangsa Verità yang paling dipercaya, yaitu Bangsa Anima. Mereka memiliki kekuatan pertahanan yang luar biasa karena dapat mengkombinasikan dua kekuatan yang bertolak belakang menjadi dinding pertahanan yang luar biasa.”
Ciel kemudian melihat sekitar dan mengamati setia sudut dari pohon raksasa itu. Jutaan Light Wisp yang selalu beredar tanpa putus dan daun dari pohon itu yang nampak mengkilat, seperti tidak ada satupun daun yang sempat layu. Akar yang menghujam tanah dengan hamparan pasir berkilauan seakan menjadi tempat paling bercahaya di dunia ini. Sejenak dia kembali mengalihkan pandangannya ke arah Tila.
“Tila, apa yang akan kita lakukan disini?”


*bersambung*
Tolong ya komentarnya untuk perbaikan~ :3

No comments:

Post a Comment