Oleh : Aditya Riskian
Pandangan dan Tujuan Demografer-Demografer Dunia
Pandangan dan Tujuan Demografer-Demografer Dunia
Demografi
merupakan salah satu disiplin ilmu yang banyak dimanfaatkan berbagai pihak
dalam berbagai bidang di dunia. Kegunaan demografi yang tinggi tersebut membuat
berbagai ilmuwan untuk meneliti perkembangan demografi dari waktu ke waktu
hingga muncul teori transisi demografi. Frank Notestein (1945, 1953)
berargumentasi bahwa ketika mortalitas tinggi, fertilitas tetap pada tingkat
yang tinggi dikarenakan dukungan sosial dan budaya (atau ‘props’) seperti
tradisi perkawinan dan organisasi keluarga. Ketika mortalitas turun
props tidak diperlukan lagi. Pada saat yang sama, masyarakat industri perkotaan
menghilangkan props, pentingnya nilai ekonomi dalam keluarga tradisional
terbangun, dan kesempatan kemajuan individu meningkat. Kesehatan dan pendidikan
meningkat, dan kesempatan wanita untuk berkerja diluar rumah tangga berkembang
luas. Notestein melihat bahwa ketika mortalitas tinggi, sosial dan budaya
memegang peranan penting dalam suatu masyarakat dimana wanita harus melakukan
reproduksi untuk berjaga-jaga apabila keturunan keluarga tersebut meninggal.
Suatu keluarga umumnya takut apabila mereka tidak memiliki atau kehilangan
keturunan mereka karena mereka takut apabila di usia tua nanti tidak ada yang
akan merawat mereka serta harta benda mereka. Orang tua masih mengharapkan
bahwa keturunan mereka nanti akan memberikan ‘ganti rugi’ atas perawatan mereka
di saat mereka masih kecil. Seiring dengan berkembangnya zaman, mortalitas
mengalami penurunan dan mempengaruhi keluarga tradisional untuk lebih terbuka
mengenai ekonomi keluarga. Orang tua kemudian lebih mementingkan kualitas
daripada kuantitas sehingga props lama
kelamaan menghilang. Pembangunan industri yang berkembang pesat membuat wanita
memiliki kesempatan untuk berkerja di luar rumah tangga. Berdasarkan argumentasi
tersebut, Notestein ingin menggambarkan bahwa keadaan sosial budaya dalam suatu
masyarakat sangat mempengaruhi pola transisi demografi.
C.
P. Blacker (1947) mengemukakan pendapatnya mengenai teori transisi demografi
dengan membaginya menjadi lima tahap. Tahap pertama yaitu high stationary atau
seimbang tinggi. Pada tahap ini, fertilitas dan mortalitas sama-sama tinggi
dikarenakan adanya gagal panen, kelaparan, wabah, perang, dan teknologi
kesehatan yang masih sangat kurang sehingga terjadi peristiwa yang dinamakan
substitution effects. Hal tersebut mengakibatkan angka pertumbuhan penduduk
alami sangat rendah. Tahap ini terjadi pada abad ke 14 di Eropa. Tahap kedua
yaitu early expanding atau perkembangan awal. Pada tahap ini, mortalitas
menurun dikarenakan adanya kemajuan kesehatan terutama imunisasi dan anti
biotik atau disebut medical breaktrough. Pertumbuhan penduduk alami mulai
meningkat akan tetapi masih berjalan lambat dan tahap ini berlangsung di India
sebelum Perang Dunia II. Tahap ketiga yaitu late expanding atau perkembangan
akhir. Pada tahap ini, angka kelahiran turun dikarenakan industrialisasi,
urbanisasi, pendidikan wanita yang meningkat, dan penggunaan kontrasepsi yang
meluas. Akan tetapi, mortalitas juga tetap mengalami penurunan sehingga
pertumbuhan penduduk alami menjadi cepat dan hal tersebut terjadi di Eropa
Timur dan Selatan sebelum Perang Dunia II dan India setelah Perang Dunia II.
Tahap ini juga terjadi di Indonesia dimana terjadi penurunan tingkat kelahiran
sampai 45% dikarenakan pemakaian kontrasepsi atau KB. Tahap keempat yaitu low
stationary atau seimbang rendah. Pada tahap ini, terjadi kombinasi pada
masyarakat mengenai kesadaran akan kesehatan dan anak. Hal tersebut
mengakibatkan laju fertilitas dan mortalitas lambat sehingga pertumbuhan
penduduk alami sangat rendah. Tahap ini terjadi di Australia, New Zealand, dan
Amerika Serikat pada tahun 1930-an. Tahap kelima yaitu declining atau
kemunduran. Pada tahap ini, gaya hidup masyarakat modern yang tidak sehat
seperti stress, kurang olahraga, dan konsumsi makanan siap saji mengakibatkan
munculnya degenerative diseases yang biasa menimpa professional muda. Hal
tersebut memicu munculnya konsumsi anti-depresi yang dapat berakibat buruk pada
kesehatan. Pada tahap ini tingkat mortalitas lebih tinggi daripada fertilitas
sehingga pertumbuhan penduduk alami bernilai negatif. Kejadian ini tidak hanya
terjadi pada saat era globalisasi, hal ini sempat terjadi di Perancis sebelum
Perang Dunia II serta Jerman Barat dan Jerman Timur pada tahun 1970-an. Akan
tetapi pada masa tersebut penyebabnya dikarenakan tingkat mortalitas yang lebih
tinggi dikarenakan generasi tua lebih banyak yang meninggal daripada munculnya
generasi muda. Berdasarkan argumentasi dari Blacker, Blacker ingin menjelaskan
secara akurat mengenai jalannya transisi demografi tidak hanya terpusat pada
keadaan sosial budaya namun juga mempertimbangkan faktor-faktor lain seperti
teknologi yang berkembang pada masa itu.
Michael
S. Teitelbaum (1975) berpendapat bahwa teori transisi demografi adalah
interpretasi deskriptif dari transformasi pola demografi yang terjadi di Eropa
pada abad ke 19. Teori ini dibagi menjadi tiga tahap dari tingkat fertilitas
dan mortalitas terlihat sebagai derivatif dari perubahan fundamental sosial dan
ekonomi dari “development” atau “modernization”. Berdasarkan teori tersebut,
tahap pertama yaitu terjadinya keseimbangan jumlah populasi dalam jangka waktu
yang lama karena tingginya tingkat fertilitas dan mortalitas. Tahap kedua
memiliki karakteristik turunnya mortalitas dengan tingkat fertilitas yang masih
tinggi karena masih dalam kontrol intitusi sosial tradisional. Tahap ketiga
tingkat fertilitas turun secara bertahap hingga menuju keseimbangan dengan
mortalitas. Turunnya fertilitas dipengaruhi oleh pengaruh pembentukan keluarga
kecil untuk mendukung perkembangan industrialisasi pada abad ke 19. Nilai
ekonomi anak juga menurun seiring dengan menyebarnya pendidikan dan pengetahuan
yang menyebabkan terhapusnya anak-anak sebagai tenaga kerja. Pada awal tahap ini,
pengontrolan fertilitas masih dilakukan dengan tradisional seperti interupsi
koitus, aborsi, dan peralatan kasar lainnya karena belum adanya teknologi
modern. Hingga pada akhirnya, karena desakan pengontrolan fertilitas yang lebih
baik maka muncullah berbagai metode modern. Teitelbaum ingin menunjukkan
transisi demografi berfokus pada pengontrolan fertilitas dan peran anak pada
transisi demografi di Eropa pada abad ke 19 khususnya pada saat terjadi
industrialisasi.
Asley
J. Coale (1976, 1989) berkata bahwa transisi demografi adalah suatu perubahan
spesifik dari pola reproduktivitas suatu penduduk yang mengalami transformasi
dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern. Coale berusaha untuk
menyederhanakan konsep daripada teori transisi demografi dengan berfokus pada
pola kehidupan masyarakat yang bersifat tradisional yaitu masyarakat yang hidup
sebelum era industrialisasi dengan masyarakat modern yang hidup setelahnya.
Caldwell
(1976) berargumentasi bahwa dalam masyarakat tradisional para orang tua mendapatkan
keuntungan ekonomi dari anak-anak mereka dan fertilitas hanya akan dapat
berkurang ketika aliran kekayaan atau flow of wealth dari anak kepada orang tua
dapat dibalik. Caldwell berusaha untuk
menyempurnakan teori dari Coale dengan melihat dari bidang ekonomi dimana anak-anak
sebagai objek ekonomi dan pola flow of wealth merupakan pembanding antara masyarakat
tadisional dengan masyarakat modern meskipun argumentasi Caldwell sebagian
besar berdasarkan pada keadaan statistik di Australia.
Teori Transisi Demografi oleh C.P. Blacker
C.
P. Blacker (1947) menggunakan istilah demographic cycle untuk menyatakan
transisi demografi. Demographic cycle digambarkan selesai terjadi pada negara
yang sudah mengalami industrialisasi dan urbanisasi. Percobaan akan dibuat
untuk menjelaskan siklus ini serta untuk menggambarkan perbedaan pertumbuhan
penduduk di dunia. Para ahli termasuk Blacker pada saat itu terancam menghadapi
masalah yang dapat mengancam kedamaian dalam jangka panjang. Tentu saja, dunia
jarang sekali dapat diamankan dari perang sampai solusi tercapai dari dilema
demografi terutama menghadapi Benua Asia. Populasi dunia yang pada saat itu
memang datanya belum akurat namun dengan pasti menunjukkan bahwa dalam lima
generasi jumlah penduduk meningkat drastis terutama di Benua Asia yang memuat
lebih banyak manusia dibandingkan negara-negara dan benua diseluruh dunia
(tanpa Asia) dan menjumlahkannya sekaligus. Penambahan yang sangat banyak
terhadap jumlah manusia merupakan dampak langsung dari pengaruh yang berasal
dari belahan bumi “barat”.
Lima
tahapan yang dapat dilihat pada demographic cycle mungkin merupakan masa yang
sebagai berikut : high stationary, early expanding, late expanding, low
stationary, dan diminishing. Tahap high stationary atau seimbang tinggi
ditandai dengan tingginya fertilitas dan mortalitas. Tingkat kelahiran
konsisten tinggi, berkisar antara 40 sampai 50 kelahiran per 1000 penduduk;
tingkat kematian juga mengimbanginya tetapi turun naik dengan lebar yang sangat
ekstrim. Dalam rentetan tahun yang baik, ketika pertanian melimpah dan ternak
maju, makanan akan berlimpah dan jumlahnya memuncak; tetapi pada saat terjadi
kekeringan, wabah penyakit membunuh banyak ternak, terjadi banjir di daerah
lembah sungai sehingga membanjiri area yang luas, perjangkitan yang serius dari
wabah (tipus, wabah penyakit, kolera, dan penyakit lainnya yang bersifat
endemis diseluruh bagian dunia) dapat menyebabkan kematian dalam jumlah besar.
Populasi dari area yang kecil bisa saja binasa. Bencana itu juga dapat terjadi
di area yang luas. Wabah, diantaranya penyakit bubonic yang terkenal, menimpa
kekaisaran Romawi. Black Death yang menyebar luas hampir diseluruh Eropa pada
abad ke 14 membunuh kira-kira seperempat dari penduduk Eropa. Sedikitnya 5 juta
orang meninggal karena penyakit endemis influenza yang menimpa India pada tahun
1918 dan 1919. Negara yang terpenting yang masih mengalami fase ini pada masa
hidup Blacker adalah Cina. Tidak ada yang tahu populasi Cina karena tidak
pernah diadakannya sensus yang luas di negara tersebut. Adapun dua perkiraan
populasi Cina namun memiliki perbedaan yang mengherankan, yaitu pada tahun1937
dan 1940 yang memiliki selisih satu miliar penduduk. Cina tidak memiliki
komunikasi dengan pemerintah yang kuat terhadap wilayah miskinnya yang sangat
luas. Para Malthusian dilema dalam menghadapi Cina. Negara lain yang pada masa
itu masih terhitung pada fase ini antara lain Afghanistan, Persia, Arab, dan
Ethiopia. Dan juga banyak penduduk asli dari Afrika, Indonesia, dan Amerika
Selatan.
Tahap
early expanding atau perkembangan awal dikarakteristikan dengan masih tingginya
tingkat kelahiran dan turunnya tingkat kematian. Perbedaan antara dua tingkat
ini, migrasi tidak diperhitungkan sehingga dinamakan natural increase atau
pertumbuhan alami. Semua negara Asia Timur yang bukan kulit putih kecuali Cina
(yang masih berada pada tahap high stationary) dan Jepang (yang berada pada
tahap late expanding) berada pada fase ini. Begitu juga dengan beberapa negara
bagian Amerika Serikat, pesisir utara dan barat Amerika Selatan, serta seluruh
negara Afrika dan negara-negara Muslim berada pada tahap ini. Karakteristik dari pertumbuhan pada tahap
early expanding merupakan reaksi dari pengaruh Barat. Metode pertanian yang
berkembang seperti penggunaan pupuk dan rotasi panen membuat persediaan pangan
melimpah. Sumber minyak dan mneral mulai dikembangkan dan industri mesin
ditemukan. Pelayanan kesehatan dan pengobatan dasar (terutama imunisasi dan
anti biotik) mulai diperkenalkan. Pengontrolan sungai dan irigasi juga mulai
dikenal. Transportasi melalui jalan ataupun rel juga dikembangkan untuk
memfasilitasi pengiriman makanan bagi daerah yang kelaparan, menekan kejahatan
serta meningkatkan keamanan. Dan yang terakhir, pemerintahan pusat yang kuat
kemudian didirikan. Kondisi ini dikenal dengan kekuatan menjajah pada tanah
jajahannya di Asia dan Afrika. Mereka dapat dihitung sebagai sisi penerimaan dari
keseimbangan pada “akoun” kekuatan kolonial. Negara-negara yang terjajah ini
memiliki pertumbuhan penduduk yang sangat cepat. Di Cina, tingkat kelahiran
berjumlah 45 per 1000 penduduk dan tingkat kematian 21 per 1000 penduduk pada
saat itu. Tingkat pertumbuhan alami yang besar itu mengakibatkan pertumbuhan
penduduk menjadi dua kali lipat dalam waktu 29 tahun. Berbeda halnya dengan
India, usaha India untuk bangkit pada antara tahun 1881 dan 1921 dari tahap
high stationary menjadi early expanding tidak teratur dan tidak jelas. Pada
dekade 1911-1921 tingkat kelahiran dan kematian sama-sama tinggi,tetapi pada
dekade 1921-1931 tingkat kematian menurun tajam. Hal tersebut menunjukkan bahwa
India telah mengalami tahap early expanding, berbeda dengan Cina yang tetap
berada pada tahap high stationary pada masa itu.
Tahap
late expanding atau perkembangan akhir ditandai dengan turunnya tingkat
kelahiran dan juga tingkat kematian dengan catatan tingkat kematian tetap
berada dibawah tingkat kelahiran, hal tersebut menghasilkan peningkatan
populasi tiap tahunnya. Pada tahun 1926, statistik vital dilaksanakan hampir di
seluruh wilayah Rusia yang terjadi pada 17 Desember 1926 untuk pertama kalinya
semua negara bagian disensus dengan serius dan menerapkan sensus dengan umur
tunggal. Statistik penduduk mulai serius dilakukan dengan teknologi yang ada. Meskipun
hasilnya belum sempurna, akan tetapi setelah dilakukan sensus yang kedua pada
Januari 1939, menunjukkan bahwa ada dua negara bagian dari Soviet (Rusia) yaitu
Novoselskiy dan Payevshiy yang mengalami penurunan jumlah penduduk sebesar 20
juta. Rusia bangkit dari dari early expanding menjadi late expanding berdasarkan
demographic cycle. Setelah tahun 1929 tingkat kelahiran di Rusia turun tajam
dan mendadak setelah tahun 1935 terjadi kenaikan tingkat kelahiran yang luar
biasa. Hal ini disebabkan oleh diberlakukannya aturan mengenai aborsi yang mulai
dianggap lazim dan meluas di Rusia. Hal ini juga disebabkan oleh adanya
industrialisasi, urbanisasi, serta peningkatan pendidikan wanita dan penggunaan
kontrasepsi.
Jepang
merupakan negara penting lainnya yang pada saat itu lebih dahulu mengalami late
expanding dibandingkan Rusia dan mungkin merupakan negara satu-satunya di Benua
Asia yang mengalami late expanding pada masa Blacker. Tahap low stationary atau
seimbang rendah ditandai dengan rendahnya tingkat kelahiran dan kematian. Akan
tetapi muncul kesulitan untuk memperkirakan apa yang akan terjadi di masa
depan. Ketika tingkat kelahiran konsisten lebih tinggi daripada tingkat
kematian, kita dapat menyatakan tidak hanya populasi akan meningkat, tetapi
populasi akan terus menerus meningkat. Berlebihnya kelahiran daripada kematian
dapat dinyatakan bahwa (migrasi termasuk) populasi akan meningkat, akan tetapi
bukan berarti akan terus terjadi peningkatan di masa mendatang. Maka munculah
indeks NRR yang menghitung kemungkinan anak perempuan dapat menggantikan ibunya
sampai akhir masa reproduksinya. NRR ini sangat berguna dalam mengatur
pertumbuhan penduduk. Apabila jumlah anak perempuan lahir sudah sebanding
dengan ibunya, maka fertilisasi dan reproduksi untuk selanjutnya dicegah.
Apabila anak perempuan jauh lebih banyak maka tingkat reproduksi harus
diturunkan. Pada masa ini (pada saat Blacker menulis buku “Stages in Population
Growth”) tidak ada satupun negara Asia, Afrika, dan Amerika Latin yang mencapai
tahap ini. Negara satu-satunya yang memperhatikan tingkat NRR adalah Perancis
pada masa itu. Tahap Declining atau kemunduran ditandai dengan tingkat kematian
yang lebih tinggi dibandingkan tingkat kelahiran tanpa pengaruh dari migrasi.
Pengurangan jumlah penduduk di Tasmania, Oceania, dan menghilangnya suku asli
Indian di Amerika Utara merupakan dampak dari meluasnya kekuatan orang putih
hampir diseluruh dunia. Perancis merupakan satu-satunya negara yang cukup
berpengalaman mengalami tingkat kematian yang lebih tinggi dibandingkan tingkat
kelahiran dalam beberapa tahun sebelum Perang Dunia II. Pada zaman modern,
tahap declining disebabkan oleh gaya hidup masyarakat modern yang tidak sehat
seperti stress, kurang olahraga, dan konsumsi makanan siap saji mengakibatkan
munculnya degenerative diseases yang biasa menimpa professional muda. Hal
tersebut memicu munculnya konsumsi anti-depresi yang dapat berakibat buruk pada
kesehatan.
Relevansi
Teori Transisi Demografi untuk Seluruh Dunia
Teori
transisi demografi tidak dapat diberlakukan pada seluruh negara/masyarakat di
dunia khususnya di wilayah Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Teori transisi
demografi disusun berdasarkan kejadian di Eropa, sedangkan di dunia terbagi
negara-negara maju dan berkembang, Eropa merupakan negara maju. Dalam
mempertimbangkan hubungan dari teori transisi terhadap negara berkembang pada
waktu itu, keterangan-keterangan rumit yang ada pada teori tersebut mempersulit
perbedaan yang kuat antara negara berkembang dengan Eropa pada abad ke 19
terutama pada variabel sosial ekonomi dan demografi yang merupakan inti dari teori
tersebut. Perbedaan negara-negara berkembang menjadi penghambat kuat untuk
menyelesaikan tepat pada waktunya sesuai dengan teori transisi dengan
mengartikan penurunan fertilitas “natural” mendekati corak dari Eropa. Di lain
pendapat, perbedaan ini memunculkan alasan-alasan untuk mengantisipasi
penyelesaian transisi dengan kecepatan yang tidak biasa pada negara-negara
tersebut. Perbedaan ini menghalangi penurunan fertilitas yang alami dan tepat
pada negara berkembang.
Penurunan
mortalitas di negara-negara Eropa terjadi secara bertahap dan umumnya
berhubungan dengan perkembangan sosial ekonomi serta industrialisasi. Berbeda
halnya dengan negara berkembang dimana penurunan mortalitas terjadi jauh lebih
dramatis dan secara luas berhubungan dengan teknologi yang diimpor yang dapat
dengan mudah dikirim dan secara garis besar berhubungan dengan langkah dan
tingkat dari pembangunan publik. Hasilnya tingkat mortalitas di negara
berkembang jauh lebih sedikit daripada Eropa pada awal zaman industrialisasi,
namun faktor pembawa teknologi ini bukanlah pribumi sehingga kurang berdampak
pada fertilitas. Fertilitas pada kebanyakan negara berkembang pada abad ke 20 jauh
lebih tinggi dari pretransisi di Eropa. Contohnya pada awal abad ke 19, tingkat
kelahiran di Inggris diperkirakan kurang dari 35 per 1000 penduduk, berbeda
dengan banyak negara berkembang seperti Tanzania dan Iran yang pada abad ke 20
memiliki tingkat kelahiran lebih dari 45 per 1000 penduduk.
Tingkat
kelahiran yang lebih tinggi ini merupakan alasan utama bahwa pada prakteknya di
negara-negara berkembang usia awal perkawinan jauh berbeda dengan Eropa pada
abad ke 19 yang biasanya usianya lebih tinggi. Eropa pada abad ke 19 juga
mengirimkan banyak penduduknya untuk pergi di daerah Amerika dan Oceania dan
daerah lain sehingga itu merupakan faktor potensial pencegah pertumbuhan
penduduk yang berlebihan di Eropa. Karena berbagai perbedaan tersebut,
pertumbuhan penduduk di negara-negara berkembang sangat luar biasa, tidak
terprediksi oleh teori transisi Eropa. Jumlah penduduk di negara berkembang
tumbuh dua kali lipat setiap kurang dari 20 tahun, sangat berbeda dengan Eropa
yang rata-rata memerlukan waktu 90 tahun. Pertumbuhan penduduk yang tinggi di
negara berkembang lebih sulit dihentikan daripada pertumbuhan penduduk di Eropa
yang tergolong rendah. Sebagai akibat dari fertilitas yang tinggi tersebut,
negara berkembang yang modern akan memiliki penduduk muda yang jauh lebih besar
dari Eropa sehingga akan menjadi momen yang tepat untuk pertumbuhan dan
perkembangan.
Mobilitas
pekerjaan dari pertanian dan urbanisasi memunculkan kesempatan alternatif hidup
untuk meningkatkan populasi di pedesaan selama transisi di Eropa. Pertumbuhan
alami yang tinggi pada negara berkembang memperlihatkan kesulitan besar pada
perbandingan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan dan ruang gerak yang cukup.
Pertumbuhan permintaan pekerja non pertanian sering melebihi dari penawaran
pekerjaan tersebut, dan laju pertumbuhan yang tinggi di perkotaan pada negara
berkembang mengancam kapasitas mereka untuk memperoleh akomodasi yang tersedia.
Kohor usia sekolah yang dapat berganda tiap 2 atau 3 dekade di negara
berkembang dapat dimengerti bahwa akan mengalami kesulitan dalam mengembangkan
fasilitas pendidikan dengan kecepatan yang cukup untuk menyediakan kesempatan
pendidikan untuk meningkatkan proporsi yang memenuhi syarat. Perbedaan situasi
antara Eropa pada abad ke 19 dengan negara berkembang modern juga memperjelas
perbedaan tersebut. Di kebanyakan negara berkembang, kemajuan sosial dan
ekonomi jauh lebih cepat daripada Eropa abad ke 19. Hal ini jelas menunjukkan
bahwa negara berkembang akan jauh lebih cepat dalam menyelesaikan masa transisi
demografinya. Metode penurunan fertilitas di Eropa pada abad ke 19 masih
menggunakan cara tradisional seperti interupsi koitus dan aborsi dan langkah
tersebut lebih efektif dibandingkan dengan cara modern meskipun lebih
berbahaya. Peningkatan teknologi kontrasepsi yang aman dan sterilisasi yang
secara sukarela diterima untuk pertama kalinya tersedia dalam sejarah.
Sedangkan negara berkembang umumnya sudah langsung menerima teknologi kontrasepsi
karena kurangnya kesadaran sejak awal mengenai tingkat fertilitas. Pada
hakekatnya perbedaan karakteristik sosial ekonomi dan demografi negara
berkembang modern mengenai pola penurunan fertilitas jelas berbeda dengan
Eropa.
Para
ahli teori transisi pada umumnya menyatakan bahwa tingginya tingkatan
perkembangan sosial dan ekonomi akan dengan cepat mempengaruhi penurunan
fertilitas. Negara-negara Eropa yang perkembangannya bersifat uniform juga
menjadi faktor utama berbeda dengan negara-negara berkembang terutama di Asia
yang memiliki pola transisi yang berbeda-beda. Contohnya perbedaan yang kontras
pada transisi fertilitas antara Cina, India dan Pakistan. Fertilitas di Cina
telah mencapai tingkat pergantian ke bawah, sedangkan transisi fertilitas
Pakistan hanya baru-baru ini saja mulai menurun dan India menunjukkan sekenario
menengah. Faktor lain yang mempengaruhi adalah kedudukan wanita. Di Thailand
kedudukan wanita cukup tinggi sehingga penggunaan kontrasepsi berkembang cepat
meskipun perekonomiannya masih menengah. Sedangkan di Taiwan yang memiliki
perkembangan ekonomi yang cepat, fetilitas turun tanpa adanya perubahan dalam
budaya atau sikap terhadap kedudukan wanita. Agar teori transisi demografi
dapat diterapkan di seluruh dunia, maka syarat utama yang harus ada adalah pola
perkembangan dan tingkat sosial ekonomi serta demografi yang seragam. Akan
tetapi apabila kita telaah dengan sederhana, sebenarnya pola perubahan tersebut
tidak jauh berbeda antara Eropa (dan negara maju) dengan negara-negara
berkembang, yang menjadi pembeda utama itu adalah bagaimana proses dalam
melewati transisi demografi tersebut tercapai. Dengan penyederhanaan konsep,
tentulah muncul gagasan bahwa berarti teori transisi demografi dapat diterapkan
diseluruh dunia. Gagasan tersebut tentunya masih menjadi perdebatan karena
peristiwanya mungkin sama, akan tetapi proses serta kejadian yang terjadi,
khususnya pada Srilanka, Jamaica, Taiwan, Ethiopia, Perancis, yang memiliki
ciri khas dalam transisinya; membuat teori transisi demografi sulit untuk
diterapkan di seluruh dunia. Sebagai contoh di Srilanka, Srilanka merupakan
negara yang memiliki sejarah demografi yang luar biasa yaitu penurunan CDR
(Crude Death Rate) yang terjadi hanya dalam satu tahun yaitu pada tahun
1946-1947. Penurunan CDR yang mengesankan sebesar 29,2% yaitu dari 19,8
kematian per 1000 penduduk pada tahun 1946 menjadi 14 kematian per 1000 penduduk
pada tahun berikutnya. Usaha keras dari Departemen Kesehatan dalam mengontrol
penyakit Malaria menjadikan turunnya CDR pada saat itu. Penurunan pada tingkat
CDR pada periode ini terutama dikarenakan peningkatan pelayanan kesehatan
publik dan kondisi pangan. Penurunan fertilitas di Srilanka juga bukan
didominasi karena penggunaan kontrasepsi seperti kebanyakan negara, tetapi
disebabkan oleh perubahan struktur umur, perubahan tingkat perkawinan,
perubahan usia perkawinan, dan perubahan dalam fertilitas. Penurunan fertilitas
juga disebabkan oleh turunnya proporsi wanita yang menikah karena jumah wanita
yang lebih banyak sedangkan wanita di Srilanka memiliki kebiasaan menikah
dengan pria yang lebih tua 5 tahun. Karena tidak terpenuhinya pasangan yang
sesuai, maka muncul proporsi wanita yang tidak pernah menikah. Pada tahun
1953-1963 juga terjadi kenaikan usia pernikahan wanita yang menyebabkan usia
potensi reproduksi berkurang. Srilanka mampu melewati tahapan transisi
demografi meskipun memiliki keadaan ekonomi yang buruk dan pembangunan yang
kurang. Hal ini berbeda dengan teori transisi demografi yang berdasarkan Eropa
pada abad ke 19 dimana negara akan mampu melewati tahap pertama setelah adanya
industrialisasi dan urbanisasi. Menurut penulis, jelas bahwa teori transisi
tidak dapat digeneralisir ke seluruh negara di dunia karena karakteristik
setiap masyarakat atau negara di dunia berbeda-beda.
Potensi
dan Hambatan Transisi Demografi di Indonesia
Transisi
demografi berlaku pencapaian kestabilan demografi yang bergeser dari jumlah
pertumbuhan penduduk yang stabil tinggi kepada pertumbuhan penduduk yang stabil
rendah. Pencapaian transformasi daripada kelahiran dan kematian yang tinggi
menuju kelahiran dan kematian yang rendah disebabkan oleh pembangunan sosial
ekonomi atau modenisasi, urbanisasi, dan globalisasi (Teitelbaum, 1975; SM
Hardjo, 2002; Achmad Suyudi, 2003). Transisi awal terjadi di Indonesia pada zaman
penjajahan sampai dengan kemerdekaan ditandai dengan kelahiran dan kematian
yang tinggi. Menjelang tahun 1950-an tingkat kelahiran merata tinggi di seluruh
Indonesia. Akan tetapi mulai tahun 1960-an fertilitas di Jawa lebih tinggi dan
memberikan tekanan pada pembangunan sehingga diperlukan adanya pembatasan
kelahiran. Pada tahun 1969 Indonesia memulai program Keluarga Berencana (KB)
yang berfungsi tidak hanya menurunkan jumlah anak saja, melainkan juga untuk
mewujudkan keluarga sejahtera di Indonesia. Program Keluarga Berencana sukses
besar ditandai dengan CBR (Crude Birth Rate) dan CDR (Crude Death Rate) yang
menurun. Masa transisi di Indonesia berlangsung cepat yaitu sekitar 50-an tahun
saja.
Indonesia
melaksanakan program pembangunan lima tahun yang termasuk didalamnya program KB
yang bermula pada pemerintahan Soeharto dengan REPELITA I pada tahun 1969-1974.
Pada saat itu rakyat Indonesia dapat menggunakan semua teknologi yang sudah
tersedia, berbeda halnya dengan Eropa yang harus menciptakannya terlebih
dahulu. Pada negara-negara yang saat ini sudah maju, proses transisi demografi
memerlukan waktu lebih dari 200 tahun karena untuk melakukan usaha penurunan
kelahiran serta kematian mereka harus membuat teknologi tersebut terlebih
dahulu. Mereka membuat teknologi terutama di bidang kesehatan dan kontrasepsi. Dalam
konteks transisi demografi, Indonesia berada pada era pasca transisi demografi
dan negara ini juga telah menggalakkan modernisasi di bidang transportasi dan
telekomunikasi. Sebagai akibat dari era pasca transisi demografi, Indonesia
akan mengalami berbagai masalah seperti jumlah penduduk usia tua yang besar dan
kepadatan penduduk di daerah perkotaan.
Penerapan
transisi demografi di Indonesia tentunya tidak sesederhana itu. Pada kenyataannya, sumber data untuk
tahun 1960 ke bawah sangat sulit ditemukan bahkan tidak ada. Hipotesis mengenai
perkembangan transisi demografi hanya berdasarkan pada gambaran umum tentang
peristiwa yang telah terjadi di Indonesia dan itupun hanya membahas Indonesia
pada abad ke 20 saja. Sumber yang sangat minim membuat demografer sulit untuk
menggambarkan keadaan Indonesia sebelum abad ke 20 sehingga dalam menggambarkan
transisi demografi di Indonesia dimulai pada tahun 1960-an dimana Indonesia
sudah mulai berkembang dan sensus sudah mulai berjalan meskipun teknologi yang
ada masih kurang. Oleh karena itu, apabila kita mengambil awal waktu penerapan
teori transisi demografi sebelum tahun 1960-an maka teori tersebut akan sulit
diterapkan karena data-data yang kurang mendukung sedangkan apabila kita
menerapkan teori transisi demografi mulai tahun 1960-an maka gambaran transisi
demografi di Indonesia akan kurang akurat.
Masalah
juga muncul bukan hanya dari ketidaktersediaan data yang akurat, melainkan juga
dikarenakan timbulnya pro kontra mengenai penggunaan alat kontrasepsi dimana
pola transisi demografi pada umumnya dikarenakan berhasilnya penggunaan
kontrasepsi bagi seluruh wilayah negara tersebut, khususnya pada tahapan late
expanding. Meskipun Indonesia telah sukses mencanangkan program KB, hal itu
dikarenakan pandangan umum dari seluruh wilayah di Indonesia yang sebenarnya di
dominasi oleh Jawa. Sebagai contoh, penduduk Aceh pada awal sosialisasi KB
menentang keras program pemerintah ini karena dinilai bertentangan dengan
ajaran agama. Butuh waktu yang lama agar penduduk Aceh mau menggunakan KB dan
itu terjadi secara berangsur-angsur, tidak terjadi dalam satu waktu sekaligus.
Hal ini tidak seragam dengan transisi demografi yang terjadi di Eropa pada abad
ke 19 dimana program dapat berjalan dengan baik dan serentak serta diiringi
dengan industrialisasi dan urbanisasi yang bersesuaian.
Hal
yang menjadi sorotan utama selain tidak tersedianya data dan gejolak penggunaan
kontrasepsi adalah pola perubahan masyarakat Indonesia dari keluar besar (expanded
familiy) menjadi keluarga batik (nuclear family). Masyarakat pada awalnya
terdiri atas keluarga besar dimana keluarga tersebut biasanya memiliki tanah
yang luas untuk kemudian akan dibagikan kepada anak-anaknya. Pada tahap ini
muncul dimana anak memiliki nilai ekonomis dimana anak tersebut merupakan
barang konsumsi yang tahan lama (durable goods). Karena pada waktu itu umumnya keluarga
besar memiliki tanah yang luas juga, maka timbullah anggapan bahwa anak
merupakan pekerja keluarga yang tidak dibayar (unpaid family worker) dimana
anak tersebut akan dirawat untuk kemudian pada saatnya diharapkan akan membantu
orang tuanya dalam mengelola tanah tersebut. Keadaan dimana orang tua
mengharapkan keuntungan dari anaknya setelah anaknya besar dinamakan flow of
wealth dimana mengalir dari anak ke orang tua. Hal ini terus berlanjur hingga
pada akhirnya terjadi pembangunan yang membuat tanah pertanian banyak yang
dijual atau dikarenakan tanah yang semakin sempit karena pembagian warisan
tanah yang terus berlanjut. Semakin majunya pendidikan juga membuat munculnya
keluarga batik atau nuclear family. Pada keluarga batik, pada umumnya orang tua
membatasi jumlah kelahiran karena tanah yang semakin sempit. Pada keluarga yang
seperti ini biasanya muncul flow of wealth dengan aliran orang tua ke anak
dimana orang tua tidak mengharapkan keuntungan dari anaknya dan terus berjuang
agar kualitas anaknya terus meningkat. Semakin banyak jumlah keluarga batik di
suatu negara, maka negara tersebut akan semakin berkembang menjadi negara maju.
Hal inilah yang menjadi masalah di Indonesia dimana keluarga batik pada umumnya
ditemukan di daerah perkotaan sedangkan di daerah pedesaan umumnya masih
merupakan keluarga besar atau expanded family. Masalah ini tidak muncul di
Eropa pada abad ke 19 dimana perkembangan dari masyarakat tradisional menjadi
masyarakat modern umumnya berlangsung cepat dan merata. Masalah-masalah
tersebut yang membuat penerapan teori transisi demografi di Indonesia mengalami
kesulitan.
Rekomendasi
untuk Indonesia agar dapat melalui transisi demografi dengan baik menurut saya
adalah dengan memperhatikan semboyan dari Welfare State dimana kebutuhan
pangan, fasilitas kesehatan, dan peningkatan pendidikan merupakan tanggung
jawab pemerintah. Transisi demografi akan berjalan dengan baik apabila
masyarakatnya memiliki pengetahuan yang baik pula mengenai pentingnya
meningkatkan kualitas hidup sehingga tingkat fertilitas dan mortalitas tetap
pada tingkat yang stabil. Pengetahuan juga berperan penting dalam proses
peralihan dari expanded family menjadi nuclear family yang berarti masyarakat
tradisional menuju masyarakat modern yang madani. Pengetahuan juga mempengaruhi
status wanita dalam keluarga dimana wanita tidak hanya sebagai ibu rumah
tangga, melainkan juga sebagai wanita karir. Akhir-akhir ini muncul trend
akibat peningkatan pendidikan wanita sehingga jumlah wanita karir ikut
meningkat. Peningkatan ini sudah menjadi trend umum di negara maju dan apabila
terjadi pada negara berkembang maka dicirikan bahwa negara itu dalam proses
mendekati negara maju. Peningkatan jumlah wanita karir juga berdampak pada
turunnya fertilitas karena waktu wanita menghabiskan hidupnya di rumah menjadi
berkurang dan jauh berbeda dibandingkan ibu rumah tangga sehingga wanita
tersebut harus berpikir dua kali jika ingin memiliki jumlah anak yang banyak
menyangkut rutinitasnya dalam bekerja. Peningkatan pangan dan kesehatan juga
tidak kalah penting terutama dalam mengatur tingkat fertilitas dan kualitas
fisiologis masyarakat. Oleh karena itu, penting bagi Indonesia untuk menerapkan
Welfare State sebaik mungkin agar Indonesia dapat berkembang menjadi negara
maju.
DAFTAR PUSTAKA
Blacker, C.P.,1947.Stages in Population Growth.British:The
Galton Institute.(online). (http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2986440/,
diakses tanggal 31 Maret 2013)
Dangalle, Nimal,1982.Demographic Transition in Srilanka.
(online). (http://dl.nsf.ac.lk/bitstream/1/4950/1/JSS%205_2_1.pdf,
diakses tanggal 29 Maret 2013)
David Lucas dan Paul
Mayer,1994.Beginning Population Studies.Australia:The
Australian National University
Hajar, Siti R.K.,1993.Pengaruh Kerja Nafkah Wanita terhadap
Fertilitas.Repository IPB. (online). (http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/31952/Siti%20Hajar_RK.pdf?sequence=1,
diakses tanggal 31 Maret 2013)
McNay, Kirsty,2003.Women’s Changing Roles in the Context the
Demographic Transition.UNESCO. (online). (http://unesdoc.unesco.org/images/0014/001468/146807e.pdf,
diakses tanggal 30 Maret 2013)
Sundman, Marie-Lor,2011.The Effects of the Demographic Transition on
Economic Growth Implications for Japan.Sweden:Jonkoping University.
(online). (http://hj.diva-portal.org/smash/get/diva2:439319/FULLTEXT01,
diakses tanggal 30 Maret 2013)
Tatang Abdul M.S.,2007.
Faktor Sosio-Ekonomi dan Demografi yang
Mempengaruhi Pilihan Pekerjaan di Sumatera Selatan, Indonesia: Identifikasi,
Analisis dan Implikasinya.Universitas Sriwijaya. (online). (http://eprints.usm.my/9034/1/FAKTOR_SOSIO-EKONOMI_DAN_DEMOGRAFI_YANG_MEMPENGARUHI_PILIHAN_PEKERJAAN_DI_SUMATERA_SELATAN,_INDONESIA.pdf,
diakses tanggal 29 Maret 2013)
Teitelbeum, M.S.,1975.Science:Relevance of Demographic Transition
Theory for Developing Countries.Volume 188.JSTOR. (online). (http://ic.ucsc.edu/~wxcheng/envs23/demogrph_trans_Sci75.pdf,
diakses tanggal 29 Maret 2013)
keren bang :)
ReplyDeletetrim s tas ilmu nya bangt :) salam kenaol yea bang :)
TQ....sangat bermanfaat
ReplyDelete