Menunggu untuk LULUS tentulah hal yang membosankan! Deg-Deg an tentu bukan hal yang menyenangkan bila berlarut-larut. Pengumuman Kelulusan SMA N 2 Sragen yang ditetapkan pada tanggal 26 Mei 2012 pukul 15.00 WIB terlalu membosankan jika dihabiskan dengan menunggu dan menunggu di depan sekolahan. Oleh karena yakin 100% LULUS maka kami pun saling menebar tanda tangan kami dengan mencoret baju OSIS kami. Akan tetapi karena aku datangnya telat(terlambat), lihat aja tuh di foto, bajuku tanpak lebih bersih daripada temanku yang lain (maklum telat 2 jam ^^v ). Aku pun yang termasuk dalam kategori Most Wanted karena dikenal pendiam dan di anggap tak mungkin rela menyerahkan bajunya untuk dicorat-coret menjadi serbuan karena kaget saja mereka aku kok mau di corat-coret. Tentu saja itu sudah aku rencanakan karena aku punya baju double, jadi saat wisuda memakai baju OSIS dan almamater tetap terlihat bersih ^^v. Aka tetapi namanya juga anak alim, aku hanya mengizinkan bajuku di tanda tangani saja, No Pilog! (bener gak tulisannya pilog gitu ^^v) Ya maklum saja aku kalau membayangkan disemprot pilog itu jadi kayak Final Destination. Waktu nyemprot kena mata, trus mengahasilkan reaksi korosi yang hebat trus matanya tinggal setengah coz pupilnya udah meleleh gitu,, hiiiiiii. Tapi waktu tanda tangan terjadi pencopetan spidol karena beli spidol 2 kok hilang semua,hahahaha. Sehabis tanda tangan semua, kemudian dilanjutlkan acara makan2 di Moen-Moen dan dibayari sama Lestari temen sekelasku di XII IPA 4 2011/2012 lhoo.. Baik amat dia semoga jadi Bidan laris lahh, Bidan Delima atau Jambu atau Manggis terserah yang penting The Best lahh hahaha... SEMOGA SEMUA KENANGAN SELAMA DI SMA TIDAK PUDAR DAN BISA DIKENANG SELALU AMIN :)
THANKS FOR THE MOMENT WE'VE BEEN DONE :) SEMOGA KITA MENJADI ORANG SUKSES YANG DAPAT MEMPERBAIKI BANGSA INI MENJADI LEBIH BAIK AMIN :)
TRANSLATE THIS BLOG
Sunday, May 27, 2012
Saturday, May 26, 2012
Detik-Detik Pengumuman Lulus
Tentunya kita tahu bahwa pengumuman kelulusan akan segera diumumkan... Bagi mereka yang optimis LULUS, sebelum pengumuman dilaksanakan pun mereka sudah melakukan pawai meskipun belum seramai jika seandainya sudah di umumkan.. Akan tetapi hal tersebut menunjukan antusias dan optimistis yang tinggi dari siswa SMA terutama SMA N SRAGEN dan SMK SRAGEN dimanapun itu :D
Pawai tentu tidak harus monoton. Contohnya saja SMA N 1 Sragen berencana pawai dengan bersepeda dan memakai baju batik. Sedangkan SMA N 2 Sragen khusunya kelas saya saja XII IPA 4 berencana konvoi dengan jalan kaki dan booking rumah makan untuk merayakannya :D
Tentunya masih banyak lagi macam pawai yang akan di lakukan di tiap-tiap daerah. Yang pasti kita harus yakin KITA LULUS! SEMANGAT!
Pawai tentu tidak harus monoton. Contohnya saja SMA N 1 Sragen berencana pawai dengan bersepeda dan memakai baju batik. Sedangkan SMA N 2 Sragen khusunya kelas saya saja XII IPA 4 berencana konvoi dengan jalan kaki dan booking rumah makan untuk merayakannya :D
Tentunya masih banyak lagi macam pawai yang akan di lakukan di tiap-tiap daerah. Yang pasti kita harus yakin KITA LULUS! SEMANGAT!
Thursday, May 24, 2012
Pengumuman UN SMA tahun 2012
Menurut berbagai sumber, pengumuman akan dilaksanakan pada tanggal 24 Mei 2012. Tapi sayang karena adanya pasang surut informasi, ada kesalahpahaman mengenai waktu. Ada yang bilang kalau pengumumannya pukul 14.00 WIB akan tetapi hal itu tidak terbukti sampai detik ini.. Kemudian ada yang bilang pada pukul 18.00WIB nanti dan kita belum tahu kebenarannya karena ini masih pukul 14.15WIB. Akan tetapi menurut berbagai artikel yang tersebar di Internet. Pengumuman tersebut sudah pasti dilaksanakan pada 26 Mei 2012 dan pada tanggal itu juga semua sudah clear.. Yah semoga saja waktu tidak diulur-ulur dan semuanya dapat LULUS dengan nilai yang Maksimal.. Aamiinn.. :)
Jangan lupa Follow @ALCsays dan @OMELANKU ya :)
Tetap setia mengunjungi blogku ini yang fun n freak ini :D
Jangan lupa Follow @ALCsays dan @OMELANKU ya :)
Tetap setia mengunjungi blogku ini yang fun n freak ini :D
Wednesday, May 16, 2012
Aku, Kamu, dan Jogja
Oleh : Aditya Riskian the @ALCsays n
@OMELANKU
Cuaca hari ini
cukup panas sehingga membuat suasana menjadi gerah. Bus tanpa ac yang disewa
oleh Dedi dengan uang dari iuran teman-teman sekelas mengantar kami menuju
Yogyakarta. Riuh canda tetap menghiasi bis Jaya Muda ini.
“Eh, Yoga. Bawa
uang berapa lo?” tanya Doni yang seketika itu pindah ke tempat duduk di sebelah
Yoga. Sambil merogoh Chitato yang dibawanya dari rumah itu, dia menunggu
jawaban Yoga.
“Ah, cuman
sejuta nih. Kata nyokap gue, gue nggak usah beli oleh-oleh.” Sambil memilih
lagu-lagu di I-podnya, dia tetap memperhatikan keberadaan Doni. “Gue pikir sih,
itu cuman alesan aja. Nyokap takut uangnya cuman gue gunain buat hura-hura doang.
Padahalkan gue juga pengen ngasih oleh-oleh buat nyokap.”
Doni yang selalu
menghabiskan waktunya untuk makan itu kemudian mengamati jendela. Gue rasa dia
mulai merasa kenyang setelah menghabiskan jajanannya. “Hey lo, ngapain
ngeliatin jendela. Ngelamun aja lo!” Ternyata tebakan gue benar kalau Doni lagi
melamun.
“Begini Ga,
gimana sih perasaan lo sebenarnya?” Raut muka Doni yang mulai serius ini cukup
membuatku muak. “Apa sih Don maksud lo? Gue nggak ngerti maksud lo. Yang jelas
dong kalo ngomong.” Gue yang nggak ngerti maksud Doni mulai jadi penasaran. Gue
rasa sudah cukup lama dia nggak pernah ngomong serius kayak gini sebelumnya.
Apa ada setan yang masuk ke tubuh gempalnya ya?Ah, emang gue pikirin.
“Nggak usah sok
bego deh. Gimana hubungan lo dengan Fany? Lo kan udah berharap banget tuh sama
dia. Nggak mau nembak lo? Mumpung lagi piknik nih.” Sontak diriku pun tersendak
oleh pertanyaan Doni. Kenapa gue nggak kepikiran tentang hal itu ya? Gue kan
udah lama naksir dia, meskipun dia udah ada yang punya. “Gue bimbang nih Don.
Gue rasa dia nggak bakalan nerima gue. Gue pesimis nih.” Pikiran yang jelek
kayak gini selalu aja ngganggu gue. Ngebuat gue jadi nggak bisa berani buat
ungkapin perasaanku.
“Lebay lu Don,
emangnya dia pernah nolak lo? Nggak kan? Waktu elo PDKT sama dia, dia juga
nggak nolak tuh. Coba aja! Yoga yang gue kenal itu nggak seperti ini orangnya.”
Nasihat yang dirasukkan oleh Doni ke gue cukup ngasih secercah harapan. Harapan
kecil. Waktu gue mengalihkan pandangan, mataku langsung menangkap sosok manis
yang selama ini selalu memenuhi sudut pikiranku. Ah, apa sih, lebay deh.
“Hey, liatin apa
sih lo. Kayak orang kesambet setan aja. Oo, liatin si Fany ternyata. Gue
panggilin ya. Fa..” Seketika itu juga gue bungkam mulut lebar Doni. Hampir aja
gue dibuat malu. Waduh, si Fany tau tuh kalo tadi dipanggil Doni.
“Ada apa Ga?
Kayaknya tadi lo manggil gue?” Uhh, suara lembutnya seakan membawa gue terbang
naik paus akrobatis menuju rasi bintang paling manis. “Mmm, nggak kok.. Tadi
nih si Doni iseng manggil lo” Jawab gue sambil gugup. Jantung gue rasanya mau
lepas, kepala rasanya cenat cenut, dan kaki nggak bisa berhenti
meloncat-loncat. Rasanya gue nggak pernah mau deh fany balik ke kursinya lagi.
Ah, jahat banget sih lo Ga, dia kan cewek, masak lo suruh dia berdiri terus.
“Halah, kok nama
gue disangkut-sangkutin sih. Kan elo Ga yang tadi manggil dia. Katanya lo mau
ngomong hal penting ke dia.” Jawaban Doni tuh rasanya mau bikin gue pukul bibir
monyongnya, tapi sih dari dalam hati mini gue, gue seneng juga.
“Mau ngomong apa
Ga?” suara lembut Fany mengawali pembicaraan dengan hangatnya. Tapi gue kasihan
liat dia berdiri terus dari tadi. “Eh Don, minggir sana. Kasian tuh Fany
berdiri terus.” Haha, sorry ya sob, gue lagi butuh kursi lo nih.
“Giliran
senengnya aja, gue langsung dibuang. Tapi nggak apalah, buat sahabat gue satu
nih.” Doni yang kemudian pindah ke kursi depan sempat berkedip member isyarat
untuk melakukan semua dengan lancer. Tenang sob, gue nggak bakal kecewain lo.
“Jadi, mau
ngomong apa Ga?” Gue yang sadar kalo Fany duduk di dekat gue, jadi bikin jatung gue serasa copot karena
terlalu girang. “Gini nih Fa, kita nanti kalau sudah sampai Jogja, gue boleh
ajak lo jalan nggak?” Ya ampun, demi apapun juga, gue akhirnya bisa ngomong
kayak gitu. Tinggal dentum jarum jam yang membuatku deg-degan menunggu jawaban
Fany. Apa kau tahu bahwa butuh usaha lima juta Joule untuk mengatakan hal ini
dan menghabiskan 100 ml air keringat untuk menahan rasa deg-degan ini? Oh ya
ampun, gue rasanya kayak mau melamar gadis desa aja.
“Oke deh Ga,
bosen juga kayaknya kalo di Jogja cuman ketawa-ketiwi bareng temen-temen gue.”
Ah, itukah jawabannya? Singkat, nggak jelas, dan kayaknya kurang ikhlas. Tapi
gue seneng deh dengernya, kayak dapet sinar harapa dari senter eyang gue,
terang banget deh.
“Yaudah deh Ga,
gue balik ke tempat duduk gue dulu ya.” Wah, dia senyum ke gue. Mimpi apa
semalem? Perasaan gue nggak mimpi apa-apa deh, sama seperti otak gue yang
kosong dan sekarang terisi oleh sosok Fany. Sambil senyam-senyum membayangkan
senyuman Fany, tiba-tiba ada sesosok iblis yang membuyarkan bayangan indah itu.
“Kenapa lo Ga
senyam-senyum sendiri? Gue sih berharapnya elo masih sehat lahir, terutama
batin.” Huh, dasar si Sony. Ganggu aja deh lamunan indah gue. Sosok figuran
kayak lo itu seharusnya nggak usah ngerusak lamunan gue. Kasian kan lamunannya
hilang sebelum gue sempat bosan untuk terus melamunkannya. Apa? Bosan? Nggak
bakal deh gue bosan buat mikirin Fany.
“Eh, gimana nih
sob PDKTnya? Lancar, aman, damai, sentosa?” Ah, si Doni balik lagi. Rasanya gue
pengen teriak-teriak didepannya sambil ngungkapin semua perasaan gue. “Lancar
sehat wal ‘afiat Don. Seneng banget gue bisa ngajak Fany jalan. Pengen deh
cepet-cepet sampai ke Jogja.” Seumpama gue cewek, pasti gue bakalan cerita
panjang lebar tanpa spasi sepanjang tembok Cina, sedalam samudra Pasifik,
setinggi gunung Everest, selebar epithel dalam mulut, setipis untaian DNA dalam
kromosom, dan se-apapun itu yang bisa mewakili perasaan gue.
“Wah hebat lu
Ga, gue kirain lu bakal kayak orang gagap. By the way, emangnya lu udah punya
persiapan buat dia?” Ah, gila! Bodoh banget gue, masak gue cuman membawa
sesosok nyawa tak berharga ini buat jalan dengan dewi khayangan. Oh, tidak!
Modal gue nggak cukup.
“Eh Don, gue
minjem uang lo bisa nggak? Bokap lo kan kaya, punya uang segudang. Pasti elo
dapet uang banyak dari bokap lo.” Harap gue supaya Doni ngasih gue santunan
untuk rakyat jelata ini.
“Tenang sob, gue
udah mempersiapkan segalanya buat sahabat gue ni. It’s easy.” Ah, syukurlah.
Doni emang sahabat gue yang paling pengertian. Dari sejak masih ngupil sampai
segedhe bodong ni.
Suasana malam
yang membosankan ini tak sanggup membuatku gerah merasakannya. Tapi gue sadar
kalo gue harus tidur untuk mempersiapkan semuanya, biar wajah ganteng gue tetep
fresh.
Esok harinya
sinar matahari langsung nampar muka gue. Mengalihkan pandangan gue ke arah
seonggok babi yang tak sadarkan diri, si Doni.
“Eh, bangun Don.
Udah nyampai nih kita di Jogja. Nih busnya mau transit dulu, biar kita bisa
makan dan mandi dulu. Jangan tidur aja lo.” Doni yang tersadar dari alam bawah
sadarnya kemudian menggeliat seperti cacing kepanasan, ah tidak, tapi seperti
babi kepanasan. Gue yang udah pengen cepet-cepet mandi segera aja menuju bagasi
bus. Waduh, disana gue ketemu si Fany. Oh Tuhan tolonglah, muka gue masih kusut
kayak koran bekas nih.
“Eh Ga, lo mau makan atau mandi dulu?” tanya Fany dengan halusnya seperti biasa.
“Eh Ga, lo mau makan atau mandi dulu?” tanya Fany dengan halusnya seperti biasa.
Gue dengan
ancang-ancang penuh semangat segera menjawab. “Mandi dulu dong, biar seger
lagi.” Emangnya kayak si babi sebelah gue tuh yang nggak pernah mandi, tapi
cuman gue tahan dalam hati.
“Wah, sama dong
Ga. Gue juga mau mandi nih.” Ah, sama dong. Ayo kita mandi bareng aja. Hush,
kalo gue sampai ngomong kayak gitu, bisa-bisa gue dikira cabul cap jengkol. Ih,
ogah.
“Ya udah, ayo
kita jalan bareng ke sana. Kan arahnya sama.” Sebagai awalan nih buat persiapan
jalan nanti malam. Biar nanti kalo mau jalan, nggak kayak orang bisu.
“Oke, ayo.
Girls, ayo cepetan berangkat ke kamar mandi.” Waduh, ternyata
rombongan-rombongan genit dari pasar Tanah Abang juga ikutan tuh. Ah, merusak
suasana aja, huft.
Setelah semua
persiapan selesai, gue beserta rombongan menuju ke objek wisata Monumen Jogja
Kembali. Monumen ini menceritakan tentang perjuangan rakyat Jogja untuk melawan
kolonial Belanda. Wuih, tumben bahasa gue berat. Biasanya aja, perkalian dua
bilangan butuh setengah jam buat menyelesaikannya, sungguh tragedi yang
mengenaskan. Lebih mengenaskan daripada peristiwa tenggelamnya kapal Titanic
ataupun matinya Romeo dan Juliet.
Setelah semua
objek wisata siang ini telah dikunjungi semua, gue beserta rombongan menuju ke
rumah makan Suharti. Biasalah, rombongan gue kan isinya orang-orang kaya dari
SMA Negeri 2 Jakarta, jadi harus makan
tempat yang elite juga dong. Si Doni yang nggak punya perut itu udah
habis dua porsi. Dan sebelum dia mau nambah lagi, gue bungkam mulutnya. “Yang
bener aja lo. Jangan makan banyak-banyak, bikin malu rombongan aja” bisikku
kepada Doni.
Sang surya yang
tersungkur ke ufuk barat menunjukkan bahwa sore telah menjemput. Inilah saat
yang ditunggu-tunggu, jalan-jalan di Malioboro. It’s shopping time! Tapi bagi
gue, sore menjelang malam ni merupakan hal yang berharga. Lebih berharga
daripada seonggok berlian di museum London maupun kode rahasia pembobol
jaringan FBI. Malam ni, malam terakhir di Jogja merupakan malam dimana gue bisa
jalan bareng Fany. Fany yang terlihat anggun, dan seperti biasa, cantiknya
saingan sama Luna Maya, tapi gue jelas nggak mau jadi Arielnya dong. Gawat dong
kalo terjadi kejadian kayak gitu. Hush, jangan mikir aneh-aneh. Nah itu Fany
datang.
“Eh, Fany. Nggak
ikut belanja bareng teman-teman lo?” Haduh, basa-basi gue jelek amat. Kalo dia
jawab, oke deh gue belanja dulu, bisa mati berdiri membentuk sudut 90o terhadap
bidang, terbebani gaya gravitasi 9,8 ms-2 dan jatuh dengan kecepatan
0,5 ms-1. Oh, tidak!
“ Katanya mau
jalan bareng sama gue? Nggak jadi ya?” Waduh, bener kan apa kata gue bilang.
“Jadi dong, ini
kan malam spesial buat gue.” Gue pun langsung ngajak dia jalan-jalan
mengelilingi Malioboro sambil ngobrol dengan asyiknya. Beli jajanan khas Jogja
sambil jalan-jalan mengelilingi Malioboro. Saat kami sedang asyiknya ngobrol
sama dia, tanpa sengaja tangan gue nyentuh tangannya Fany. Gue yang nggak mau
kehilangan kesempatan, langsung gue gandeng aja tangannya tanpa melihat Fany.
Rasanya sih agak canggung, tapi lama-kelamaan genggaman gue jadi mantap, nggak
canggung lagi. Hmm, nggak gue sangka akan ada hari dimana gue bisa jalan bareng
Fany. Seandainya ini sinetron, pasti udah gue pause tuh tv gue. Nggak bakal
bisa gue lupain lah momen-momen indah kayak gini. Gue kayak udah jadi pacarnya
Fany aja. Fany yang terlihat ceria, semakin membuatku ingin lebih membuatnya
senang. Hingga sampailah di suatu taman yang entah sudah sejauh mana kita
jalan. Kami pun duduk di bangku taman tersebut.
“Ah, seneng deh
Ga gue. Udah lama gue nggak merasa sebahagia ini. Kalo lo gimana?” Wah,
bukannya seharusnya gue tuh yang senengnya tujuh langit tujuh samudra?
“Gue juga seneng
banget Fan. Seneng rasanya bisa ngajak lo jalan setelah penantian gue selama
ini.” Seandainya lo tahu penantian panjang gue untuk menunggu sesosok dewi
cantik seperti lo buat jalan bareng.
Semilir angin
malam yang dingin semakin menguatkan genggamanku, genggaman antara tangan gue
dengan tangan Fany. Bukankah Tuhan menciptakan sela-sela di antara jari-jari
tangan untuk diisi dengan jari-jari yang lain? Yap, semoga saja pasangan dari
sela-sela jari Fany memang untuk diisi jari-jari tanganku. Fany yang tiba-tiba
menatap gue, sejenak membuat gue menelan ludah. Gue kemudian menatap Fany
dengan khidmat. Gue mendekat ke wajahnya, dan gue cium pipi kanannya. Sejenak,
kami pun berdiam diri sampai ada ingatan menerobos kepala kosong gue.
“Eh Fa, udah
malam banget nih. Ayo kita balik ke bus kita.” Gue dan Fany pun beranjak tanpa
melepas genggaman gue. Kami pun menuju bus sambil membisu. Sungguh momen-momen
yang kurang gue harapkan. Apa karena ciuman gue tadi ya?
“Eh Fan, lo
marah sama gue ya?” tanya gue karena penasaran. Gue takut kalo Fany sampai
marah sama gue. Jadi sia-sia dong usaha gue buat PDKT ke dia.
“Nggak kok. Gue
nggak marah.” Raut wajahnya yang muram jelas tidak sesuai dengan senyum yang
dipajangnya. Gue nggak tahu, apa sih salah gue. Hhah! Nggak sesuai dengan
rencana gue nih. Shit!
“Lalu kenapa lo
keliatan marah gitu? Ayolah Fan, terus terang deh sama gue.” Aduh, jangan bikin
gue penasaran setengah wafat dong. Gue kan nggak mau mati muda.
“Nggak, nggak
apa-apa gue. Mungkin belum saatnya lo tahu.” Setelah itu, kami pun masuk ke
dalam bis. Kami duduk di tempat masing-masing. Gue tak henti-hentinya melirik
ke arah Fany. Kadang-kadang gue juga memergoki Fany lagi ngeliatin gue---eaaa.
Ya ampun, please. Jangan mikir aneh-aneh deh, ini lagi masa berkabung tahu.
Sepanjang
perjalanan kembali ke Jakarta terasa sangat sepi. Selain teman-teman yang sudah
lelah, Doni pun sudah meregang nyawa ke alam mimpi di sebelah gue. Raungan dari
mulut monyongnya tak mampu mengalihkan pikiranku dari kejadian tadi malam. Awal
yang menyenangkan, pertengahan yang menakjubkan, namun diakhiri oleh kisah yang
mengharukan.
Sesampainya di
SMA Negeri 2 Jakarta, kami yang sudah ditunggu oleh orangtua kami mulai
memasuki mobil masing-masing untuk pulang ke rumah. Sesampainya dirumah pun gue
tetep aja nggak bisa berhenti memikirkan kejadian tadi malam. “Oke, gue harus
ngajak Fany ketemuan di taman kecil dekat rumahnya.”
Fany yang sudah
tiba disana terlihat menungguku dengan cemas. Gue yang udah harap-harap cemas
segera duduk disebelahnya.
“Fan, gue pengen
minta penjelasan dan kejelasan tentang semua ini.” tanyaku tanpa basa-basi.
Fany yang
terlihat muram pun langsung menatap gue. “Ga, gue nggak bisa. Gue ngerasa
bingung, bingung banget Ga!” seketika itu pula air mata mengalir di pipi
lembutnya. Gue yang bawa sapu tangan langsung mengusap pipinya dengan lembut
dan penuh perasaan.
“Bingung kenapa
Fan? Gue cuman pengen bisa jadi pacar lo aja. Gue nggak…” tiba-tiba Fany
memegang tangan gue sambil terus terisak.
“Ga, gue nggak
bisa nerima lo. Gue udah ada yang punya, si Ferry. Gue…” seketika mendengar hal
itu, gue pun nggak bisa menahan semuanya lagi.
“Kenapa sih Fan
lo nggak ngomong ke gue dari dulu. Lo tahu sendiri kan kalo gue selama ini
terus memimpikan kalo gue bakalan jadian sama elo. Tapi kenapa lo malahan cuman
ngasih harapan kosong ke gue. Lo tahu nggak sih betapa sakitnya hati gue.” gue
udah nggak bisa menahan semuanya. Alunan Alice dari Mozart pun nggak bisa
menjelaskan betapa sakitnya hati gue.
“Tapi Ga, gue
nggak bisa ngomong ke elo. Gue takutnya lo udah sakit hati sebelum nyoba…..”
Penjelasan Fany ke gue tetep nggak bisa menahan darah yang sudah mengalir
dengan derasnya ke kepala ini. Seluruh otot-otot kepala rasanya berkontraksi,
tak ada yang sempat mengalami relaksasi.
“Hah, shit! Elo
itu emang cewek cakep, mana mungkin tahu artinya patah hati. Tapi pinter kalo
bikin orang sakit hati.” Gue yang udah terlalu sakit hati lalu pergi keluar.
Namun waktu gue mau berdiri, tiba-tiba Fany ikut berdiri. Teguk tenggoroknya seakan
menyampaikan sesuatu tentang sebuah kepastian.
Nggantung ya???
Emang gue bikin biar penasaran…. :D Suka gak? Kalo ada komentar silahkan yang
penting bersifat membangun dan tidak sok tahu…. J
Subscribe to:
Posts (Atom)